Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bali-Komodo, Penjelajahan Awal dari Peradaban Baru

Kompas.com - 25/09/2012, 08:24 WIB
Jannes Eudes Wawa,
Samuel Oktora,
Siwi Yunita Cahyaningrum

Tim Redaksi

LABUAN BAJO, KOMPAS.com — Perjalanan sejauh 620 kilometer menjelajahi lima pulau mulai dari Bali hingga Flores, Senin (24/9/2012), akhirnya berakhir di Pulau Komodo.

Setelah melawan cuaca panas, angin, dan tanjakan, peserta Jelajah Sepeda Kompas Bali-Komodo juga menemukan keramahan dan kekayaan alam dan budaya di sepanjang perjalanan. Kelelahan yang mereka rasakan selama tujuh hari terbayar seketika.

Tim Jelajah Sepeda Kompas Bali-Komodo mengawali perjalanan panjangnya dari Nusa Dua, Bali, dengan 67 pesepeda yang berasal dari berbagai latar belakang pekerjaan, asal, dan usia. Ada wirausahawan, desainer, arsitek, dokter, hingga pensiunan. 

Ada yang masih berumur 23, ada pula yang sudah berusia 62 tahun. Dari 67 peserta, lima di antaranya adalah perempuan.

Di tim Jelajah sepeda, mereka semua bekerja bersama mengayuh sepeda. Panasnya cuaca, kencangnya embusan angin, tanjakan, dan penyeberangan yang panjang menjadi tantangan terbesar Tim Jelajah Sepeda Kompas Bali-Komodo.

Perjalanan sepanjang 620 km melintasi lima pulau dalam tujuh hari sangat menguras tenaga dan menguji mental. Saat menyeberang dari Bali ke Lombok, peserta sudah menemukan satu tantangan, yakni lamanya penyeberangan.

Menjelang masuk Pelabuhan Lembar, Lombok, yang hanya berjarak 35 mil, mereka tertahan di kapal selama lima jam karena keterbatasan infrastruktur pelabuhan.

Pada hari berikutnya, mereka merasakan ganasnya alam Sumbawa. Di tengah padang savana, suhu udara pada siang hari mencapai 46 derajat celsius atau lebih tinggi dari suhu yang biasa mereka rasakan sehari-hari, 36-38 derajat celsius. Di tengah panasnya cuaca, pesepeda harus berjuang mengayuh sepeda melawan embusan angin kencang.

Berbeda dengan penjelajahan di Jawa dan Sumatera yang pernah dilakukan sebelumnya, angin adalah tantangan terberat para pesepeda. Padang savana terbuka yang kering dan hanya diisi dengan vegetasi perdu membuat angin tak terhalang. Laju kecepatan sepeda hanya sekitar 20 km per jam, lebih rendah dari rata-rata sebelumnya yang mencapai 23-25 km per jam.

Di etape ketiga inilah sebagian pesepeda mulai tercecer, dua di antaranya mengalami cedera dan harus dievakuasi.

Perbukitan menuju Dompu dan Bima adalah puncak dari tantangan jelajah sepeda. Mereka harus melawan iklim Sumbawa yang panas, embusan angin yang kencang, tanjakan sejauh 30 km, dan perjalanan sejauh 132 km dalam kondisi fisik yang sudah lelah. Sebagian peserta mulai kehilangan fokus, banyak yang mengeluh, ada pula yang sampai meneteskan air mata.

Namun, tantangan belum berakhir. Pada hari terakhir di Sumbawa, mereka masih harus menempuh jarak 56 km menuju Pelabuhan Sape yang penuh tanjakan dan turunan. Di pelabuhan Sape, mereka mengalami sendiri bagaimana buruknya infrastruktur menjadi pemicu keributan.

Para pengemudi protes karena sudah harus mengantre selama lima hari untuk bisa menyeberang ke Flores. Kapal regular yang tersedia hanya satu dan itupun hanya mampu mengangkut 5-9 truk besar, padahal jumlah truk yang mengantre saat itu ada 20-an truk. Kedatangan peserta jelajah pun akhirnya terlambat sekitar 3 jam dari jadwal yang ditentukan.

Gambaran Indonesia timur

Perjalanan berat bersepeda selama enam hari sedikit banyak memberi gambaran beragam kekayaan dan persoalan di Indonesia timur. Hanya di Sumbawa, peserta menemukan sisi lain keindahan Indonesia timur. Padang savana yang luas dengan ribuan ekor ternak berlarian bebas ke sana-kemari.

Laut yang jernih di sepanjang jalur bersepeda mereka. Tim jelajah juga menemukan keramahan warga yang tiada putus di sepanjang jalan. Di sepanjang perjalanan menuju Pulau Komodo, tim jelajah selalu disambut dengan lambaian tangan warga desa, sorakan semangat, dan kekaguman anak-anak yang terus berlari mencoba mengejar mereka dengan kaki telanjangnya.

Di Lombok, Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi ikut melepas tim jelajah sepeda dan memberi semangat kepada mereka. Begitu pula di Sumbawa, ratusan anggota komunitas sepeda ikut menghantar tim jelajah hingga ke perbatasan kota Sumbawa.

Saat sampai di Bima, tim jelajah disambut hangat oleh Wali Kota M Qurais Abidin dan ratusan anggota komunitas sepeda di sana. "Sambutan hangat seperti ini bisa mengobati rasa lelah yang sudah kami rasakan sepanjang jalan. Seolah kami adalah bagian dari perjalanan yang penting," kata anggota tim jelajah yang dilepas secara adat di Wawo, Bima.

Saat tiba di Labuan Bajo, mereka juga diterima secara adat. Keramahan warga seolah tiada putus sepanjang jalan. Namun, mereka juga menemukan sebuah persoalan besar yang tergambar dari perjalanan sepanjang Bali-Komodo.

Selain persoalan ketertinggalan infrastruktur dan sarana penyeberangan, terlihat pula betapa daerah timur sangat tertinggal dari sisi sumber daya manusia. Saat beristirahat di Desa Muer, Kecamatan Plampang, Sumbawa, mereka menemukan anak-anak yang belum bisa mengeja meski sudah masuk kelas III SD. Mereka juga hampir tak mengenali susu sebagai minuman mereka.

Minimnya pendidikan dan keterampilan serta tandusnya lahan juga membuat para warga di Pidang memilih menjadi tenaga kerja di luar negeri.

Dari sebuah penjelajahan sepeda, Kompas ingin melihat Indonesia lebih dekat, yang pada akhirnya bisa membuat perubahan yang berarti pada peradaban di dalamnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com