”Pemberlakuan tarif parkir yang baru akan kami pakai sebagai instrumen menata lalu lintas, bukan hanya mengejar target pendapatan asli daerah,” kata
Menurut Enrico pemberlakuan tarif parkir baru itu untuk mendorong pengguna jalan menggunakan angkutan publik.
”Tarif parkir di badan jalan sekarang sedang kami bahas di tingkat eksekutif. Kami mengusulkan tarif on street senilai
Penyelenggaraan parkir di wilayah DKI Jakarta telah diatur dalam peraturan daerah (perda) tentang perparkiran yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta pada 26 September. Perda itu mengamanatkan penyediaan fasilitas parkir yang harus memenuhi persyaratan, meliputi keselamatan dan kelancaran lalu lintas, keamanan dan keselamatan pengguna parkir, kelestarian lingkungan, kemudahan bagi pengguna jasa parkir, akses penyandang disabilitas, dan memenuhi satuan ruang parkir (SRP) minimal.
Perda tersebut juga mengatur fasilitas parkir on street berdasarkan sistem zona pengendalian parkir. Ada dua zona, yaitu golongan A dan golongan B. Golongan A merupakan kawasan dengan frekuensi parkir relatif tinggi; kawasan komersial, pertokoan, pusat perdagangan, atau perkantoran; dan derajat kemacetan lalu lintas tinggi. Golongan B adalah kawasan dengan frekuensi parkir relatif rendah; kawasan komersial, pertokoan, pusat perdagangan, atau perkantoran; dan derajat kemacetan lalu lintas rendah.
Namun, perda tersebut belum mengatur mengenai ketentuan tarif parkir di badan jalan. Besaran tarif akan ditetapkan dalam peraturan gubernur DKI yang kini sedang dibahas.
Dengan perda baru itu, DPRD DKI Jakarta berharap penyelenggaraan parkir lebih teratur, aman, dan nyaman bagi masyarakat. ”Mau tidak mau, nantinya parkir kendaraan memang harus masuk ke gedung parkir,” kata anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Maringan Pangaribuan.
Kendati demikian, Maringan belum terlalu yakin pengaturan dan kenaikan tarif parkir bakal mengurangi kemacetan lalu lintas secara signifikan. ”Kalau meningkatkan pendapatan daerah, iya. Tetapi kalau mengurangi macet, saya belum yakin, apalagi kalau tidak dibarengi penataan angkutan umum,” ujarnya.
Target pendapatan DKI dari sektor parkir tahun 2012 mencapai Rp 210 miliar. Seiring dengan meningkatnya tarif parkir, target pendapatan tahun 2013 menjadi Rp 398 miliar.
Pendapatan ini berasal dari pengelolaan parkir oleh pemerintah dan swasta. Sejauh ini, Pemprov DKI hanya menguasai 5,5 persen dari semua SRP di DKI Jakarta. Kapasitas parkir yang dikelola Pemprov DKI 12.550 kendaraan, yang terdiri dari 2.072 kendaraan parkir off street dan 10.478 kendaraan parkir on street.
Adapun pihak swasta mengelola 94,5 persen semua SRP di wilayah Jakarta. Jumlah itu setara dengan kapasitas parkir 305.050 mobil dan 201.804 sepeda motor. Saat ini, pengelola parkir swasta di Jakarta ada 741 penyelenggara, 52 di antaranya menggratiskan parkir.
Bagi yang memungut biaya, mereka memiliki kewajiban menyetor retribusi 20 persen dari pendapatan parkir sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Parkir.
Sejak diberlakukan akhir September lalu, tarif baru parkir off street belum semua berlaku di Jakarta. Di mal Grand Indonesia, misalnya, pemberlakuan tarif baru mulai 5 Oktober lalu, tetapi hanya untuk mobil. ”Parkir kendaraan roda dua masih sama tarifnya,” kata Rizki, petugas parkir Grand Indonesia.
Bagi pengguna kendaraan, kenaikan tarif parkir di luar badan jalan harus menyesuaikan diri. Ahmad (53), sopir mobil boks PT Idealife, yang mengantar barang elektronik, berpendapat, mesti belum terlalu memberatkan, kenaikan tarif ini menakutkan. ”Yang saya takutkan, orang kantor jadi curiga sama saya. Kok, uang parkir kurang terus?” ujarnya. Setiap hari, ia mendapat uang parkir Rp 150.000 untuk mendatangi 28 lokasi. Ia berharap tarif parkir bisa disesuaikan per menit kelebihan.
”Sekarang, kan, lewat sedetik sudah jadi Rp 10.000,” ujarnya.(NDY/FRO/WIN)