Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bang Julian, Selamat Jalan...

Kompas.com - 14/10/2012, 11:20 WIB
Ilham Khoiri

Penulis

KOMPAS.com - Bang Julian, aku menerima kabar terakhir tentangmu dari Mas Arbain Rambey, fotografer Kompas, teman seprofesimu. "Berita duka: telah meninggal dunia, fotografer Kompas: Julian Sihombing."

Begitu catat @arbainrambey di laman twitternya pada Minggu (14/10/2012) pagi ini, pukul 05.36 WIB.

Memelototi tweet itu, dadaku langsung sesak. Memang, beberapa tahun terakhir, kanker memaksa Abang keluar-masuk rumah sakit. Sempat masuk kantor beberapa bulan lalu, kemudian abang harus dirawat lagi. Tapi, tetap saja, kabar itu demikian menyentak.

Lalu kucermati berita singkat di Kompas.com: http://m.kompas.com/news/read/2012/10/14/08491168/Wartawan.Kompas.Julian.Sihombing.Tutup.Usia-megapolitan.

Abang meninggal di National University Hospital Singapura, Minggu (14/10/2012) sekitar pukul 02.00 waktu setempat. Akhirnya, waktu Abang telah tiba.

Insya Allah, tempat indah di sisi Allah menantimu di sana. Aku berdoa dalam hati, seraya mengingat berbagai kenangan yang berkelebat. Sebagai fotografer, Abang termasuk salah satu yang andal di Kompas. Abang pekerja keras, berani, terbuka, sigap, dan tajam dalam menangkap momen.

Itu jelas terekam foto karya-karyamu, sebagaimana terangkum dalam buku Split Second, Split Moment (Penerbit Buku Kompas, tahun 2010).

Abang termasuk beruntung karena sempat menerbitkan antologi karya dalam bentuk buku, sesuatu yang kadang luput dilakukan sendiri oleh seorang fotografer. Berbagai foto Abang sejak bekerja di Kompas tahun 1987 tercetak di situ. Mulai dari peristiwa human interest sehari-hari, kehidupan kota, olahraga, para presiden, hingga peristiwa-peristiwa penting bagi bangsa Indonesia.

Salah satunya, tentu saja, foto seorang mahasiswi yang tergeletak saat Tragedi Trisakti di Jakarta tahun 1998. Ini foto yang bersejarah. Seorang mahasiswi tergeletak di pinggir jalan beraspal. Tangannya menggapai, matanya melotot. Dia tampak sekarat. Di dekatnya, berlarian para polisi dengan tameng dan senjata lengkap.

Siapa pun yang pernah mengalami Gerakan Reformasi 1998 bakal sepakat: Foto ini cukup tepat mewakili pergolakan kala itu.

Krisis ekonomi menggoyahkan kekuatan Presiden Soeharto, pemimpin rezim Orde Baru. Mahasiswa bergerak dalam gelombang demonstrasi di berbagai kota, dan aparat keamanan dibuat gagap. Penembakan beberapa mahasiswa Tri Sakti mempersesar gelombang kemarahan rakyat.

Soeharto pun jatuh setelah berkuasa selama 30 tahun lebih. Sejarah bergeser, dan gairah masa itu tetap terasa hingga kini. Dan, foto itu akan selalu menjadi salah satu ikon penting gairah bersejarah Reformasi 1998.

Tak berlebihan, jika dibilang, karya ini berbicara lebih dari 1.000 kata tentang masa genting itu. Aku bisa mengatakan demikian, karena kebetulan saat itu aku adalah mahasiswa tingkat akhir, dan ikut dalam demonstrasi besar menduduki gedung DPR/MPR RI di Senayan.

Tak pelak lagi, foto jurnalistik Abang di Trisakti itu adalah salah satu sumbangan Abang untuk dokumentasi sejarah bangsa Indonesia. Tentu saja, banyak foto abang yang juga memikat. Tapi, foto tragedi Trisakti itu tak saja penting untuk sebagai rekaman sejarah Indonesia, melainkan juga berhasil mencerminkan karakter karya Abang, terutama foto-foto jurnalistik.

Apa karakter foto abang? Bagi aku, Abang piawai menangkap momen. Dengan mengaktifkan "antena fotografer" saat bekerja, Abang selalu siap menangkap sinyal peristiwa yang menyergap, kadang kerap hanya sekelebat. Itu tak mudah, karena membutuhkan kepekaan, kesigapan, kecermatan, dan kecepatan membidik yang sudah mengental bak insting.

Fotografer yang memperoleh momen tepat, bisa menggambarkan titik-titik penting dan energi dari puncak peristiwa besar. Satu-dua foto dapat mewakili alur panjang cerita yang menyertainya. Foto tragedi Trisakti masuk kategori ini.

Penilaian ini pula yang aku tuliskan ketika Abang memintaku, bersama sejumlah kawan Abang, untuk membuat pengantar singkat buku Abang. Aku merasa terhormat bisa memenuhi menulis di situ. Sebagai manusia, Abang juga memikat.

Terus terang, sebagai sesama wartawan di Kompas, aku merasa bukan teman yang dekat dengan Abang. Tetapi, ada momen-momen kecil di mana Abang sulit dilupakan dalam benakku. Terakhir, ketika kesehatan Abang sempat membaik setelah lama dirawat di Singapura, Abang mencoba aktif bekerja ladi di Kompas selama beberapa waktu.

Suatu malam, Abang berjalan -dengan agak tertatih- di ruang tamu redaksi. Badan Abang sudah lebih kurus, rambut sudah hampir habis, tetapi sorot mata tetap hidup. Abang menyapa saat aku main pingpong malam itu. Aku main, dan Abang melihat saja dengan santai.

Aku bilang, "Ayo bang, cepat sehat... Biar kita bisa main pingpong lagi." Abang hanya menyeringai, dan kemudian duduk di sofa sambil baca koran, dan mendengar suara tik-tak bola pingpong yang dipukul-pukul di atas meja.

Aku tak bisa menduga apa yang Abang pikirkan saat itu. Sambil menepak-nepak bola, saat itu aku mengenang ketika Abang beberapa kali pernah main pingpong denganku.

Aku tak pandai main pingpong. Setahuku, Abang juga begitu. Tapi, lewat permainan kecil yang menguras peluh itu, kenangan persahabatan kita akan tetap melekat. Selamat jalan, Bang Julian... (Ilham Khoiri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com