Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aprindo: Dibanding China, Upah Pekerja Sepatu RI Lebih Tinggi

Kompas.com - 02/11/2012, 08:46 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Upah pekerja sepatu di Indonesia saat ini dinilai sudah cukup tinggi dibanding beberapa negara produsen alas kaki lainnya, termasuk China. Menurut data  Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo),upah pekerja di Indonesia mencapai 1,03 dollar AS (Rp 9.888) per jam. Adapun upah pekerja di China 0,91 dollar AS (Rp 8.736) per jam, Vietnam 0,46 dollar AS (Rp 4.416) per jam, dan Kamboja 0,29 dollar AS (Rp 2.784) per jam.

”Upah pekerja kita sudah tidak murah lagi karena, dari sisi produktivitas, pekerja China bisa menghasilkan sepatu dua kali lebih banyak dari di Indonesia. Kami minta pemerintah tidak berlebihan menetapkan kenaikan upah minimum karena biaya buruh sepatu kini sudah 25 persen dengan margin 5 persen. Sisanya 60 persen bahan baku dan 10 persen lagi biaya overhead,” kata Ketua Dewan Pembina Aprisindo Harijanto di Jakarta, Kamis (1/11/2012).

Secara umum, upah pekerja pabrik sepatu di Tangerang, Banten, untuk 40 jam kerja seminggu kini rata-rata 179 dollar AS (Rp 1,71 juta) per bulan. Pekerja pabrik sepatu dengan 40 jam kerja seminggu di Qingyuan, China, menerima upah 159 dollar AS (Rp 1,52 juta) per bulan dan pekerja di Ho Chi Minh, Vietnam, menerima 95 dollar AS (Rp 912.000) per bulan.

Pabrik sepatu bermerek global terkena imbas unjuk rasa buruh menuntut penghapusan sistem kerja alih daya. Proses produksi sepatu seperti Adidas, Nike, dan Bata pun terganggu meski mereka mengklaim tidak memakai pekerja alih daya sesuai syarat pemilik merek.

Pengusaha sepatu resah karena ribuan buruh tetap mendatangi pabrik mereka dan memaksa pekerja ikut berunjuk rasa. Pabrik Harijanto yang mempekerjakan 10.000 orang saja dua kali berhenti berproduksi karena unjuk rasa itu.

Satu pabrik yang mempekerjakan 80.000 pekerja pun tidak luput dari aksi tersebut. Pabrik berhenti produksi akibat sedikitnya 6.000 anggota serikat buruh memaksa masuk ke pabrik.

Harijanto menjamin pabrik- pabrik sepatu yang berorientasi ekspor tidak menggunakan pekerja alih daya sesuai dengan persyaratan pemilik merek yang memesan.

Kalangan pengusaha pun mengkhawatirkan tiga hal. Pertama, ketidakpastian hukum. Kedua, kenaikan upah minimum tidak sesuai mekanisme pengupahan yang ada. Ketiga, penegakan hukum atas perusakan, intimidasi, dan penyanderaan terhadap karyawan dan manajemen pabrik.

Seperti diberitakan, ribuan buruh dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nena Wea bergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI). Mereka berunjuk rasa di sejumlah kawasan industri di Jawa Barat dan Banten menuntut penghapusan pekerja alih daya (outsourcing), penetapan upah minimum sesuai angka kebutuhan hidup layak, dan iuran jaminan kesehatan pekerja ditanggung pemberi kerja.

Pabrik sepatu termasuk industri padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Setiap investasi satu pabrik sepatu bernilai 100 juta dollar AS (Rp 960 miliar), bisa menyerap sedikitnya 10.000 pekerja langsung dan 40.000 pekerja tidak langsung.

Harijanto mengatakan, industri sepatu merek global baru pulih dalam dua tahun terakhir setelah terganggu beberapa kasus investor kabur tahun 2005-2006. Indonesia pun kini masuk tiga besar produsen sepatu merek terkenal dunia bersama Vietnam dan China.

Industri sepatu tersebut mempekerjakan sedikitnya 500.000 orang. ”Industri sepatu hanya memiliki waktu lima minggu sejak menerima pesanan sampai pemesan menerima barang tersebut. Gangguan produksi sehari saja sudah sangat mengganggu dan akhirnya selisih keuntungan yang ada habis untuk biaya mengirim barang menggunakan pesawat supaya tidak terkena penalti,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit.

Sementara Presiden KSPI Said Iqbal, yang juga Presidium MPBI,  mengaku belum pernah menerima laporan ada penggerebekan pabrik yang tidak menggunakan pekerja alih daya atau kontrak waktu tertentu melanggar undang-undang. Hal ini terjadi seperti di pabrik Samsung dan pabrik tekstil di Bekasi, serta pabrik Bata di Purwakarta.

Iqbal mencontohkan, pekerja pabrik sepatu Bata berstatus kontrak dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) melebihi ketentuan. ”Ada pekerja yang berstatus PKWT sampai enam tahun,” ujar Iqbal.

Akibat pemblokadean pabrik, manajemen Bata menutup pabrik. Manajemen akan mengumumkan rencana mereka selanjutnya pada Jumat (2/11/2012), apakah kembali bekerja atau tutup tanpa batas waktu.(HAM/DEN/ETA/CAS/PPG)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com