Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nilai Kepahlawanan Makin Pudar

Kompas.com - 12/11/2012, 02:05 WIB

Oleh Dwi Erianto

Di balik hiruk pikuk panggung politik dan semangat pemberantasan korupsi yang menggebu, di tengah masyarakat sedang terjadi penggerusan eksistensi kepahlawanan. Sikap rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar, pengabdian, kegigihan, dan keberanian semakin punah terpancar dari elemen anak bangsa.

Hal yang mengemuka justru sebaliknya, mementingkan diri sendiri, tidak jujur terhadap diri dan lingkungannya, dan pengecut terhadap tantangan dan kesulitan. Intinya, publik melihat masyarakat sedang kehilangan sosok pahlawan. Masyarakat bangsa ini sedang dalam situasi ”paceklik” kepahlawanan.

Publik mengharap kemunculan figur pahlawan dalam bentuk sikap mumpuni yang mampu mengatasi berbagai persoalan krusial bangsa. Figur itu bisa muncul dari kalangan pemimpin, tetapi bisa juga dari lapisan masyarakat yang mampu memberikan sumbangsih nyata atas berbagai persoalan mendasar yang kembali muncul dalam tubuh bangsa ini.

Jawaban publik dalam hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu menunjukkan, para kaum elite yang memegang kekuasaan di negeri ini belum mampu memberikan makna mendasar bagi kepahlawanan. Saat diajukan pertanyaan, siapakah tokoh yang bisa dianggap sebagai pahlawan di negeri ini, lebih dari separuh responden menjawab tidak ada. Tak sampai 10 persen publik yang menjawab figur pahlawan masih ada atau mulai muncul dengan menyebut nama Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ataupun Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Ketiadaan tokoh yang bisa disejajarkan dengan jasa pengorbanan para pahlawan masa lalu itu paralel dengan temuan jajak pendapat pada September 2012 yang mengungkapkan penilaian kinerja kepemimpinan formal negara dalam mengatasi persoalan bangsa. Semangat kepahlawanan para pemimpin formal negara yang tercermin dari kinerjanya oleh mayoritas responden justru dinilai minor. Padahal, kepemimpinan formal negara semestinya menjadi barisan terdepan yang bisa dijadikan rujukan jiwa kepahlawanan untuk masa kini.

Jiwa kepahlawanan para pimpinan DPR yang mengemban amanat sebagai wakil rakyat dan pilar demokrasi dinilai masih jauh dari harapan publik. Mayoritas responden berpendapat, etos kepahlawanan di lembaga tersebut rendah, bahkan paling rendah dibandingkan dengan pimpinan dari lembaga-lembaga negara lainnya. Persepsi minor publik itu agaknya tak bisa lepas dari banyaknya pemberitaan negatif yang melibatkan anggota Dewan, mulai dari kasus korupsi oleh oknum anggota DPR, keberadaan mafia anggaran, hingga tudingan pemerasan oknum anggota DPR terhadap BUMN.

Penilaian responden terhadap jajaran penegak hukum yang dipandang sebagai benteng keadilan di negeri ini pun setali tiga uang. Kasus-kasus hukum yang muncul di ranah publik justru menempatkan aparat hukum sebagai pelaku pelanggaran hukum. Tengok saja kasus dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas Polri dan hakim yang terjerat kasus narkoba. Demikian pula isu rekening gendut sejumlah oknum jenderal serta ”setoran” dalam pola rekrutmen ataupun penempatan aparat. Tak heran, dua pertiga responden menilai rendah semangat kepahlawanan di kepolisian dan Mahkamah Agung.

Sulit dihindari makna penilaian sifat kepahlawanan terhadap lembaga atau pemimpin formal erat terkait dengan persepsi publik atas kinerja dan sifat keberpihakan mereka. Kemampuan melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara normatif pun belum cukup jika tak dilengkapi dengan sikap empati kepada masyarakat. Dengan kondisi kevakuman keteladanan dan sosok, tak heran publik tak mampu mengidentifikasi pahlawan saat ini. Siapa sosok pahlawan yang paling dikagumi akhirnya hanya bisa dijawab dari masa lalu, antara lain figur Presiden Soekarno.

Pada akhirnya, kevakuman teladan di lapis elite merembes pula di lapis masyarakat. Tak hanya di level pimpinan negara, melemahnya nilai-nilai kepahlawanan juga terjadi di ranah publik masyarakat. Jajak pendapat ini mengungkap, sebanyak 9 dari 10 responden alias nyaris seluruh responden menilai penghayatan jiwa kepahlawanan di masyarakat saat ini lemah. Semangat rela berkorban dalam kehidupan nyata dinilai melemah oleh 7 dari 10 responden.

Berbagai konflik horizontal di Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan daerah lain yang disebabkan persoalan sepele adalah indikator kuat melemahnya sifat kepahlawanan. Alih-alih mengedepankan kesamaan kepentingan sebagai bangsa, sejumlah kelompok masyarakat justru mengumbar amarah dan nafsu untuk saling menyakiti sesama anak bangsa yang sering atas nama primordialisme sempit.

Dalam jajak pendapat sebelumnya bahkan terekam, negara melalui sistem dan aparatnya mengambil peran dalam spiral kekerasan ini. Dalam konteks kerukunan umat beragama, misalnya, negara dinilai tidak bertindak adil, memadai, dan tegas.

Indikator yang lebih sederhana juga dinyatakan. Tradisi memelihara ”memori kepahlawanan” dalam masyarakat memudar seiring kesibukan sebagian warga bangsa ini mempertahankan ”laju tingkat perekonomian”. Perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus lewat upacara dan tirakatan yang secara tak langsung memupuk sikap cinta Tanah Air dan menghargai jasa pahlawan mulai jarang diselenggarakan. Dua dari lima responden jajak pendapat Kompas pada Agustus lalu menyatakan, tak ada peringatan kemerdekaan di lingkungannya.

Lebih jauh, krisis nilai kepahlawanan dalam masyarakat saat ini bisa disejajarkan dengan krisis nilai dalam pengamalan dan penghayatan Pancasila. Baik Pancasila maupun nilai kepahlawanan sama-sama diamini kebutuhannya oleh nyaris seluruh responden berbagai jajak pendapat ini. Namun, pada saat yang sama keduanya dipandang mengalami kevakuman dalam masyarakat, ”terkubur” berbagai ”isme” yang saat ini populer dan digandrungi masyarakat.

Dari sudut pandang kebebasan berpolitik masyarakat di tengah politik yang liberal dan identitas primordial yang menguat, persoalan Pancasila dan nilai kepahlawanan tampak seperti benang kusut. Bahkan, negara tampak tak berdaya mengurai kekusutan ini. Salah satunya adalah dimensi penanaman nilai kepahlawanan (dan bela negara) yang makin absen dari jalur sistem pendidikan. Padahal, di semua negara yang kuat perasaan kewarganegaraannya, pendidikan merupakan jalur strategis yang dijaga sungguh- sungguh oleh penyelenggara negara.

Doktrin kepahlawanan

Melemahnya nilai-nilai kepahlawanan di masyarakat salah satunya tergambar dari sistem pendidikan di negeri ini yang kian longgar menanamkan semangat kepahlawanan. Contohnya, tidak semua sekolah mewajibkan siswanya upacara bendera tiap Senin. Pendidikan yang memuat makna nilai kepahlawanan, budi pekerti, dan karakter kebangsaan juga semakin minus diajarkan di sekolah. Kondisi ini tentu bukan kondisi ideal bagi pemeliharaan imaji positif tentang bagaimana dan oleh siapa negeri ini didirikan.

Hampir seluruh responden dalam jajak pendapat ini setuju jika nilai-nilai kepahlawanan kembali diajarkan di sekolah- sekolah sejak dini. Bagaimanapun, hanya lewat jalur pendidikanlah pembentukan karakter anak bangsa diwujudkan. Lewat buku-buku pelajaran sekolah, mayoritas responden mengaku mengenal sosok dan kiprah pahlawan-pahlawan bangsa dalam pengabdian, kesetiaan, dan pengorbanan yang luar biasa bagi negara atau daerahnya. Sayangnya, mata pelajaran yang mengajarkan dan membentuk sikap moral dan pemahaman semacam itu kini makin absen dari sekolah-sekolah dalam sistem pendidikan nasional.

Di balik rasa pesimistis terhadap kepahlawanan di negeri ini, publik sesungguhnya masih mendambakan sosok pahlawan dalam menyelesaikan persoalan yang membelit negeri ini. Publik mengharapkan munculnya sosok pahlawan yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan mendasar dalam karakter bangsa ini. (LITBANG KOMPAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com