Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/11/2012, 15:08 WIB
Windoro Adi

Penulis

"Sebenarnya pasar lele kami masih membutuhkan 300 kilogram lele setiap hari. Yang bisa kami penuhi baru 30 kilogram lele setiap hari. Maklum, modal kami terbatas," ucap Usman.

Begitulah kawasan pemukiman yang dulu menjadi salah satu sentra rumah kos di Kapuk, berubah menjadi tempat peternakan lele.

Tak sebanding

KamisPada  (23/3/2012) lalu, Wakil Wali Kota Jakbar, Sukarno, meresmikan rumah pompa yang memiliki tiga mesin pompa. Masing-masing mesin pompa mampu menyedot air 500 meter kubik per detik. Pembangunan rumah pompa ini bertujuan mengatasi banjir di Kampung Apung. Dana yang dihabiskan untuk membangun rumah pompa dan jaringan saluran kata Djuhri, mencapai Rp 14,750 miliar.

Anehnya, rumah pompa tersebut dibangun di lingkungan RW 04, dan bukan RW 01. Lagipula, jika rumah pompa tersebut dibangun di RW 01, panjang saluran air yang harus dibangun tidak lebih dari 300 meter menuju Kali Angke. Tetapi karena rumah pompa dibangun di lingkungan RW 04, saluran air yang dibangun bertambah panjang, sekitar satu kilometer.

"Ketika rumah pompa itu diresmikan, kami warga RW 01 tidak pernah diundang. Kami pun belum pernah merasakan dampak kehadiran rumah pompa tersebut," tegas Djuhri.

Menurut Sukarno, rumah pompa didirikan untuk menanggulangi banjir di RW 01, 02, 04, 05, dan 07 di atas lahan seluas 200 hektar. Tapi menurut Djuhri, hanya lingkungan RW 01 yang selalu kebagian banjir.

Sampai kini, pembangunan saluran air menuju rumah pompa belum juga selesai. Sebagian saluran yang berukuran lebar itu masih dibiarkan terbuka. "Sudah belasan pengemudi dan sepeda motornya jatuh ke saluran tersebut," kata Djuhri yang diamini sejumlah warga yang ditemui di sepanjang saluran.

Saat hujan mengguyur, Jalan Kapuk Raya tetap saja tergenang air hingga selutut orang dewasa. Padahal, di salah satu ruas jalan itulah berdiri rumah pompa.

Menurut Djuhri, "Persoalannya bukan sekadar rumah pompa, tetapi kebijakan pembangunan Pemprov yang membuat lingkungan kami rusak, masa depan kami menjadi suram."

Ia menegaskan, seluruh warga RW 01 memiliki surat tanah girik. "Jadi kami tinggal di Kampung Apung bukan tinggal di atas tanah negara. Kami juga tidak tinggal di atas tanah bantaran kali atau bantaran kereta api yang kami okupasi," ucap Djuhri kesal.

Kesalnya terobati setelah Gubernur DKI Joko Widodo menjanjikan rumah susun sederhana hak milik dan gedung sekolah bagi warga Kampung Apung. Padahal sebelumnya, warga sudah berniat melakukan gugatan class action terhadap Pemprov DKI. (WINDORO ADI T)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com