Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Alam Tidak Lagi Berpihak

Kompas.com - 24/12/2012, 02:56 WIB

Hari Jumat (7/12), banjir setinggi 2 meter sudah mengurung Kelurahan Baleendah, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sebanyak 622 warga tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari mereka karena harus mengungsi di aula kelurahan serta sejumlah masjid dan sekolah di kawasan tersebut.

”Sebelumnya, mereka sudah mengungsi ke sini (kantor Kelurahan Beleendah) selama seminggu, dari 18 November 2012. Saat air surut, mereka sudah pulang, tetapi tiba-tiba banjir lagi dan mereka mengungsi kembali ke sini,” ujar Lurah Baleendah Heru Kiatno.

Letak kantor kelurahan ini memang lebih tinggi dari permukaan Sungai Citarum sehingga kerap menjadi tempat pengungsian warga. ”Sering kali ketinggian banjir mencapai 3 meter,” kata Sumarman, warga Kampung Cieunteung, Baleendah. Penderitaan warga makin menjadi karena air Citarum mengandung limbah beracun akibat pembuangan ratusan pabrik di kawasan tersebut.

Itulah ritual penderitaan warga di pinggir Sungai Citarum, Jawa Barat, setiap musim hujan. Malah kali ini musim hujan belum genap sepekan, pada awal November lalu sederetan bencana alam banjir dan longsor sudah menyergap sejumlah kawasan di Jawa Barat. Dalam sehari, yakni Minggu (18/11), terjadi longsor di belasan titik, salah satu di antaranya di Ciwidey, Bandung selatan.

Selain dua warga tewas, longsoran tanah juga memutus jalan ke kawasan wisata Ciwidey di Kabupaten Bandung. Bersamaan dengan itu, banjir terjadi di wilayah genangan abadi daerah aliran Sungai Citarum, yakni Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Majalaya, ataupun Rancaekek.

”Jawa Barat memiliki 40 daerah aliran sungai, tetapi saat ini hampir 75 persen di antaranya telah rusak dan menuju kondisi kritis,” ungkap Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita. Menurut Guru Besar Ilmu Lingkungan Institut Teknologi Bandung ini, selain akibat alih fungsi lahan, kerusakan daerah penangkap air juga dipicu maraknya penambangan.

Ia mencontohkan, eksploitasi pasir di Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang, yang tidak terkendali menyebabkan puluhan urat-urat air hancur. Ribuan hektar lahan di kawasan Gunung Wayang, hulu Sungai Citarum, yang seharusnya ditanami tanaman keras, kini dijadikan lahan pertanian sayuran. Budidaya tanaman semusim ini sangat berperan aktif pada pendangkalan Sungai Citarum.

Darurat bencana

Kepala Badan Penanggungan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat Udjwalaprana Sigit mengakui, beberapa wilayah memang rawan bencana banjir, terutama Kabupaten/Kota Bandung, Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten/Kota Cirebon, Bogor, Garut, Depok, dan Kota Cimahi.

Untuk bencana pergerakan tanah atau longsor, biasa terjadi di wilayah Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Bogor, Bandung Barat, dan Kabupaten/Kota Bogor.

Melihat fakta-fakta itu, sejak Februari 2012, BPBD Jawa Barat menetapkan Jawa Barat siaga darurat longsor dan banjir. BPBD menyiagakan dan menyiapkan segala kebutuhan, seperti sumber daya manusia, sarana dan prasarana, logistik, serta sosialisasi kepada masyarakat.

Dengan ditetapkannya siaga darurat bencana banjir dan longsor, tidak dibenarkan adanya petugas kebencanaan di kabupaten dan kota tidak siap karena semua telah dibekali. Selain para petugas kebencanaan, pihak BPBD pun dibantu sekitar 10.000 sukarelawan yang siap siaga jika terjadi bencana. Dalam penanganan bencana, pihaknya mengutamakan bagaimana meminimalkan terjadinya korban jiwa ataupun harta.

Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, kerusakan alam di Jawa Barat semakin parah. Kondisi geografis berkontur pegunungan semestinya menjadi berkah bagi 45 juta jiwa penduduk yang mayoritas petani. Sayangnya, hal ini tidak mampu dipertahankan dan dipelihara dengan baik. Akibatnya, alam tak lagi berpihak, anugerah pun berubah menjadi musibah.

Pola pembangunan yang cenderung terfokus di perkotaan berdampak buruk pada perkembangan desa. Arus urbanisasi seiring sejalan dengan alih fungsi lahan besar-besaran. Akibatnya, lahan pertanian menyempit terdesak bangunan pabrik dan hutan lindung berubah menjadi ”hutan beton”, vila, permukiman, dan lahan pertanian.

Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Jawa Barat Entang Sastraatmadja mencatat, di Jawa Barat, tidak kurang dari 4.000 hektar sawah setiap tahun beralih fungsi. Benar-benar menyedihkan karena alih fungsi itu ditempuh dengan rekayasa tertentu yang mengubah lahan sawah irigasi teknis menjadi kawasan beton.

”Jika kondisi ini terus berlangsung tanpa ada kebijakan pemerintah dalam merevitalisasi lahan, Jawa Barat tidak tertolong,” ujar mantan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan dalam dialog ”Membangun Jawa Barat dari Desa” di Pusat Kajian dan Pemberdayaan Desa, akhir November.

Revitalisasi lahan

Guru Besar Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Padjadjaran, Bandung, Dede Mariana memandang perlu pembenahan signifikan dalam tata kelola pemerintahan. Terutama dalam kebijakan pembangunan yang prolingkungan dan tidak terfokus hanya pada perkotaan.

Secara angka, Jawa Barat disangga oleh hampir 6.000 desa. Dengan demikian, jika pembangunan menafikan desa, Jawa Barat akan mengalami kemunduran. Untuk itu, pemerintah Jawa Barat kini dan ke depan harus memfokuskan pembangunan di wilayah pedesaan.

Salah satu kebijakan yang perlu dilakukan adalah melakukan revitalisasi lahan, yakni mengembalikan fungsi lahan sesuai peruntukannya. Apabila diperlukan, pemerintah melakukan pembebasan terhadap lahan yang dikuasai swasta/masyarakat dan memiliki fungsi strategis untuk keseimbangan alam.

”Ini perlu kerja sama antara pemerintah provinsi dan semua pemerintah kota/kabupaten,” tegas Dede. Pembebasan lahan dilakukan agar pemerintah memiliki lahan abadi yang akan dikembalikan fungsinya.

Hulu harus difungsikan kembali lahan serapan air dengan penghijauan. Hilir difungsikan sebagai lahan pertanian dan perkebunan yang dikelola bersama dengan masyarakat.

Hal senada juga ditegaskan Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Pascasarjana Universitas Padjadjaran Utang Suwaryo. Kondisi lahan yang telah beralih fungsi menyebabkan daya serap air di wilayah hulu sangat rendah. Menipisnya stok air bawah tanah juga memicu banjir longsor yang berakibat fatal bagi daerah di bawahnya.

Ini harus segera diantisipasi dengan mengembalikan fungsi lahan yang mestinya. ”Jangan pertanian dialiri air limbah yang telah mencemari sungai.” lanjut Utang. (Dedi Muhtadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com