JAKARTA, KOMPAS.com - Judul di atas merupakan pernyataan Taufiq Kiemas seusai perayaan ulang tahunnya yang ke-70, yang ditandai dengan peluncuran buku Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam, Senin (31/12). Sebelumnya, Puan Maharani, anak bungsunya, mengumpamakan keduanya sebagai dwitunggal sepasang sayap yang saling melengkapi, terbang tinggi menuju cita-cita bersama.
Kalaupun caranya berbeda, itu untuk mencapai tujuan yang sama. Taufiq mengakui, dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang mengambil keputusan. Namun, sebagai pendamping dalam perjuangan, ia akan mengkritisi sesuatu yang menurut dia salah. Ketika kalangan di sekitar Megawati tidak berani mengkritisi, Taufiq mengambil posisi itu.
”Kalau semua orang iya iya saja, lama-lama kejeblos juga,” ujar pria kelahiran Jakarta, 31 Desember 1942, ini.
Berbagai kalangan hadir dalam acara itu. Tampak Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, mantan Presiden BJ Habibie, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Ny Sinta Nuriyah, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tanjung, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid, dan mantan Menteri Perindustrian Luhut Pandjaitan.
Bagi Taufiq, keberagaman dan perbedaan justru menjadi berkah. Hal itu terlihat dalam kegemarannya menjalin hubungan dengan berbagai kalangan. Dari masyarakat sampai birokrasi. Dari politisi, akademisi, hingga agamawan. Bahkan dengan pihak-pihak yang punya garis politik berbeda. Ia pun diterima berbagai kalangan, seperti ketika fraksi-fraksi memberikan kepercayaan secara aklamasi untuk menduduki Ketua MPR 2009-2014.
Tentang peristiwa itu, Puan ingat kata-kata ibunya, Megawati. ”Siapa lagi yang bisa menjaga NKRI kalau bukan papa kamu,” ujar Puan yang dalam pidatonya beberapa kali berkata dengan suara bergetar.
Sebagai politisi, kata Taufiq, dirinya lebih tertarik dalam pembinaan, terutama dalam ideologi. Pasalnya, parpol tanpa ideologi sama dengan zombi. ”Saya bukan cuma cinta pada PDI-P, tapi pada negara ini,” kata mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ini.
Bagi Megawati, perbedaan adalah hal lumrah. Tidak saja dalam konteks hubungannya dengan Taufiq Kiemas, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa. ”Dalam kerukunan kita, perbedaan yang selalu ada itu tidak menjadi soal. Yang penting tidak dengan paksaan,” katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.