Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Air Tak Akan Pernah Membalas

Kompas.com - 19/01/2013, 04:09 WIB

Oleh Neli Triana

Hadi (44) geram melihat lumpur mengotori bagian depan rumahnya yang tak jauh dari Jalan Ciledug Raya, Petukangan Selatan, Jakarta Selatan, Jumat (18/1). Setumpuk batu bata, semen, dan pasir disiapkan Hadi untuk meninggikan tanggul kecil di halaman rumahnya. Namun, ia tak ambil pusing melihat saluran air di depan tempat tinggalnya mampat.

Banjir melanda Jalan Ciledug Raya, tepatnya di Kelurahan Petukangan Selatan, sejak Selasa lalu. Air setinggi lebih dari 50 sentimeter sempat membuat jalan penghubung Tangerang dengan Jakarta Selatan itu lumpuh. Air diyakini berasal dari luapan saluran air di kawasan itu. Selain saluran berdiameter 1 meter-2 meter yang melintang di pertigaan Swadarma, saluran air lain juga terlihat mampat penuh sampah dan tanah.

Proyek fisik

”Banjir besar di Jakarta telah terjadi sejak tahun 1895 sampai sekarang. Kita yang tak pernah belajar bagaimana hidup selaras dengan lingkungannya. Banjir selalu berusaha diatasi hanya dengan pendekatan proyek fisik,” kata peneliti pada Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Firdaus Ali.

Sejarawan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Restu Gunawan, yang meneliti sejarah banjir Jakarta, mengatakan, pendekatan proyek fisik itu dilakukan sejak zaman Belanda sampai kini.

”Kanal-kanal yang dibangun Belanda itu hanya bersifat mengalirkan air secepatnya ke laut, bukan menahan air semaksimal mungkin di darat agar meresap ke dalam tanah. Sayangnya, sampai sekarang, kita pun masih berparadigma yang sama dengan zaman Belanda,” tutur Restu.

Restu yakin Belanda salah memahami Jakarta yang menganggapnya seperti kota-kota di negara asalnya yang berada lebih rendah dari laut. Padahal, tambah Firdaus, kondisi Jakarta berbeda. Selain berada di kawasan beriklim tropis, ibu kota Indonesia ini terletak di dataran rendah berupa cekungan dengan 13 aliran sungai dan 76 anak sungai yang melintasinya.

Kondisi Jakarta makin unik dengan jumlah dan komposisi penduduk yang mencapai 12,7 juta dari berbagai etnis. Saat ini, sistem drainase di Jakarta merupakan warisan dari tahun 1970-an saat penduduknya sekitar 4,5 juta jiwa.

Di tempat tinggal Restu di Cinere, Depok, Jawa Barat, halaman belakangnya berbatasan dengan aliran sungai. Sejak tahun 1996, ia amati sungai itu ada saatnya kering dan mengecil. Akan tetapi, saat musim hujan datang dan ada aliran air dari hulu di Puncak, sungai itu membesar dan beraliran deras.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com