Jakarta, Kompas -
”Kembalikan (air hujan) ke sistem alami. Kalau tidak, jalan pintas terus yang diambil,” kata Arief Yuwono, Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup, Jumat (1/2), di Jakarta.
Ia mendukung pemanfaatan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Namun, ia mengingatkan agar aksi nyata mulai dilakukan setiap pemangku kepentingan. Dari sisi tata ruang, misalnya, Tata Ruang Jakarta 2010-2030 yang telah diperdakan bisa dipadu dengan lokasi-lokasi banjir.
”Bisa dilihat peruntukan tata ruang dengan kondisi nyata di lapangan. Lalu, putuskan langkah selanjutnya,” katanya.
Terkait TMC selama dua bulan, 26 Januari-25 Maret 2013, ia yakin sudah dipertimbangkan BPPT, BNPB, dan BMKG. ”Tak mungkin penebaran garam dilakukan setiap hari. Kalau pengalaman mengendalikan kebakaran hutan, TMC mempertimbangkan arah angin dan awan potensial,” ucapnya.
Senada dengan Arief, Direktur Eksekutif Walhi Jakarta Ubaidillah mengatakan, TMC di Jakarta selayaknya hanya dilakukan saat darurat dan antisipasi jangka pendek. ”Kalau penerapan TMC ini tak ditindaklanjuti dengan pengendalian lingkungan, kerusakan bisa lebih parah, seperti kekeringan,” ungkapnya.
Banjir Jakarta diyakini karena daya dukung lingkungan melebihi kapasitas. Oleh karena itu, ia mendorong peningkatan daya dukung lingkungan.
Ia mencontohkan pembangunan waduk, normalisasi dan penyelamatan daerah aliran sungai, serta menambah hutan kota/ruang terbuka hijau. Ia optimistis hal itu bisa diharapkan dari Gubernur DKI Joko Widodo. Namun, hal ini tak mungkin tercapai dalam satu periode.
Seperti diberitakan, Joko Widodo mempercepat pembangunan terowongan MRT yang juga berfungsi sebagai pengendali banjir. Selain itu, digiatkan lagi pembuatan 20.000 sumur resapan di Jakarta yang separuh di antaranya dibangun Pemprov DKI.
Menurut Ubaidillah, perintah pembuatan sumur resapan tercantum dalam peraturan daerah dan SK gubernur, khususnya bagi bangunan non-permukiman seperti gedung perkantoran, mal, dan komersial lain.