Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nusa Lontar dan Totalitas Orang Rote

Kompas.com - 05/02/2013, 11:55 WIB

Oleh Kornelis Kewa Ama

Pulau Rote disebut Nusa Lontar. Pulau ini dipadati pohon lontar atau Borassus flabellifer secara alamiah, dari pesisir sampai wilayah perbukitan. Hampir 90 persen warga Rote hidup dari menyadap nira lontar. Lontar memberi kehidupan yang lebih bermakna bagi mereka, dari lahir sampai mati.

Sebelum seorang bayi Rote menyusui susu sang mama, terlebih dahulu, ia mengenyam air nira lontar yang dioleskan ayahnya di bibir dan lidahnya. Barulah kemudian sang bayi diberi air susu mamanya. Inilah pertanda sang bayi telah meminum makanan pokoknya, dari bayi sampai akhir hidupnya kelak.

Budayawan atau manehelo Rote, Abia Mandala (69) di Ba’a, Senin (3/12/2012), mengatakan, lontar pertama kali tumbuh di Nusak (kerajaan) Ringgou, Rote Barat Laut, tahun 1400-an. Dari situ, lontar berkembang biak ke seluruh daratan.

Legenda tua menyebutkan, nenek moyang dari Maluku itu pertama kali melakukan penyadapan terhadap nira lontar. Keterampilan leluhur ini diwariskan dari generasi ke generasi. ”Bahkan, menyebar ke seluruh warga Rote waktu itu, hingga hari ini,” kata Mandala.

Tumbuhan jenis palem ini dipahami sebagai anugerah Tuhan yang diberikan secara cuma-cuma. Lontar tidak bisa dikembangbiakkan atau budidayakan. Tumbuhan ini tumbuh dengan sendirinya, lama-kelamaan membentuk hutan lontar di lokasi itu.

Peradaban

Lontar mencerminkan totalitas kehidupan orang Rote. Lewat lontar mereka membangun sejumlah kearifan lokal. Batang, bulir, daun, pelepah, nira, tulang daun, buah, sabut, dan pucuk lontar membangun peradaban dan budaya lokal mereka.

Batang, daun, pelepah, dan tulang daun, misalnya, dimanfaatkan untuk membangun rumah.

Daun juga dipakai untuk perkakas dapur, alat timba air yang disebut haik, dan penghias alat musik sasando. Pucuk daun (putih) dimanfaatkan menganyam topi lokal tiilangga, pembungkus tembakau (rokok) tradisional, dan tulang daun untuk tali (pengikat).

Rokok tradisional dan tuah (nira) adalah sarana untuk mempertemukan mereka. Tiap upacara adat yang melibatkan tetua, menghadirkan rokok dan tuah ini.

Tetapi sebagian dari tradisi ini mulai hilang. Misalnya, nira diganti bir, rokok asli diganti hasil pabrikan, ari-ari bayi dibuang di laut atau pohon lain, generasi muda tidak lagi menyadap, keranda dibuat dari kayu lain, dan sejumlah perkakas dapur dari hasil pabrikan. Generasi muda merasa gengsi menyadap lontar. ”Mereka lebih suka jadi tukang ojek,” kata Mandala.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rote Ndao Orias Alberth Muskananfola mengatakan, air nira lontar memberi kehidupan kepada setiap bayi, anak balita, remaja dan orang dewasa di Rote. Nira bisa dikonsumsi bersama dengan sayur-sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian, jagung atau buah-buahan sekaligus.

”Hasil penelitian menyebutkan, nira lontar mengandung vitamin A, B, C, D, dan E serta memiliki kemampuan antioksidan tinggi. Tidak heran bila orang Rote menyebutkan, kami minum makanan, yakni nira,” kata Muskananfola.

Satu pohon lontar menghasilkan 40 liter nira per hari, masing-masing 20 liter diambil pada pagi hari, dan 20 liter lain diambil sore hari. Jika 20 liter diproses menjadi gula air menghasilkan sekitar 10 liter gula cair, berwarna coklat. Jika 10 liter gula cair ini diproses lebih lanjut, menghasilkan sekitar 5 kilogram gula lempeng.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com