Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

IMLEK, Melanjutkan Tradisi Leluhur

Kompas.com - 08/02/2013, 03:16 WIB

Setiap tahun perayaan Imlek berlangsung semarak di Indonesia. Kesenian barongsai tersaji di sejumlah mal. Berbagai dekorasi khas Imlek berwarna merah seperti lampion dan pohon meihua mudah ditemui di banyak tempat keramaian.

Bukan hanya masyarakat Tionghoa yang senang dengan adanya perayaan Imlek. Mereka yang tidak merayakan Imlek pun senang karena dapat melihat tradisi ataupun benda-benda dan kesenian yang tidak tersaji tiap hari.

Meski Imlek bermula dari perayaan petani daratan Tionghoa menyambut kedatangan musim semi, perayaan ini menyebar ke seluruh dunia seiring dengan migrasi penduduk China ke banyak negara. Tahun ini Imlek jatuh pada 10 Februari dan di Indonesia menjadi salah satu hari libur nasional.

Perayaan ini berlangsung sebulan penuh mulai pertengahan bulan terakhir perhitungan tahun China hingga tanggal 15 atau pertengahan bulan pertama. Untuk menyambut Tahun Baru, biasanya mereka menjalankan tradisi membersihkan rumah. Uniknya, sehari sebelum Imlek tidak boleh menyapu rumah atau membuang sampah. Mereka juga mengenakan pakaian baru, memasang seprai baru, hingga mengecat rumah.

Untuk hidangan pada malam menjelang Imlek, setiap keluarga menyiapkan hidangan yang melambangkan 12 shio, kue-kue manis, dan buah jeruk. Setelah makan bersama, mereka berjaga sepanjang malam dan mengisi waktu dengan bermain kartu dan makan kuaci sebelum berdoa bersama. Acara berkumpul dan makan bersama biasanya bertempat di rumah kerabat yang dituakan seperti nenek, kakek, atau anak tertua.

Kue-kue manis merupakan lambang harapan agar tahun baru membawa hal-hal yang baik dan kemakmuran. Inti perayaan Imlek adalah mengucapkan syukur dan memanjatkan doa untuk leluhur serta berharap tahun yang akan datang lebih baik daripada tahun sebelumnya.

Rindu angpau

Agar semakin meriah, mereka menyalakan petasan dan menonton barongsai. Pada hari berikutnya, mereka mengunjungi kerabat yang lebih tua. Pada saat inilah anak-anak bertambah gembira karena mendapat angpau atau amplop—biasanya warna merah—berisi uang.

Namun, bagi anak-anak muda sekarang Imlek lebih berupa tradisi berkumpul dan makan bersama. Tidak semua warga Tionghoa menganut kepercayaan yang sama dengan leluhur sehingga sebagian tradisi Imlek mereka tinggalkan.

”Waktu kami tinggal di Singkawang, Kalimantan Barat, suasana perayaan Imlek sangat meriah. Kadang saya rindu suasana itu, tetapi sekarang kerabat saya sudah pindah dan tidak ada yang tinggal di sana lagi. Jadi, kalau di sana malah tidak ada yang memberi angpau kepada saya,” kata Yessica (18), siswa kelas XII jurusan IPS SMA Negeri 2 Jakarta Barat, Rabu (6/2).

Rekannya, Renata Keishia (17), mengakui, semakin bertambah umur semakin sedikit angpau untuk mereka. ”Tambah seret, lebih enak waktu kecil, angpaunya banyak. Biasanya kami menghabiskan angpau untuk makan bersama temanteman. Makanya, sebelum Imlek kami survei tempat makan yang enak dan murah,” katanya.

Baju baru

Yessica menambahkan, setiap menjelang Imlek, sang ibu membelikan tiga setel pakaian. Tahun ini dia baru mendapat satu. ”Kata ibu, dua setel lagi utang. Ibu berjanji membelikan sisanya lain waktu. Bagi saya, tidak apa-apa karena baju yang bagus kan tidak murah,” kata Yessica.

Siswa SMAN 2 Jakarta lainnya, Benna Della (17), berkomentar, keluarganya selalu merayakan Imlek. Namun, karena mereka beragama Kristen, acara Imlek lebih bertujuan mempererat silaturahim dengan saudara dan kerabat.

Lain halnya dengan Steven Rabuwo (17), siswa kelas XII SMA Kristen Tarsisius 1 Jakarta Pusat. Setelah berkumpul dan makan bersama keluarga besar, mereka ke wihara di Mangga Besar untuk sembahyang leluhur saat menjelang tengah malam.

”Kami merayakan, tetapi saya tidak hafal seluruh ritual dan hidangan yang harus ada,” kata Steven.

Begitu pula dengan Steven Reynaldo (15), siswa kelas X Bina Nusantara International School Jakarta. ”Imlek adalah tradisi dari leluhur kami,” katanya.

Di keluarga besar Mohammad Lavian Magribi, siswa kelas X SMA Muhammadiyah Jakarta, Imlek adalah ajang silaturahim. Keluarga besarnya merupakan campuran Betawi dan Tionghoa. Namun, dia tidak lagi selalu berkumpul dengan seluruh keluarga besar saat Imlek karena lebih suka bersama teman-temannya. Satu hal yang pasti, dia tidak pernah menolak angpau.

Wakil Kepala SMAN 2 Jakarta Totok Sugiarto mengatakan, semula sekolah itu untuk warga Tionghoa. Kini tidak lagi meski mayoritas siswa adalah warga Tionghoa. Dari total 757 siswa, 80 persen adalah anak-anak Tionghoa dari bnayak daerah.

Di sekolah itu, dulu ada ekstrakurikuler (ekskul) barongsai. Saat ini ekskul itu tidak ada karena tiada siswa yang melanjutkan kegiatan tersebut. ”Tetap saja banyak yang ingin menyewa barongsai dari sekolah ini. Kami menyanggupi karena banyak siswa yang mengikuti kesenian barongsai di luar sekolah,” kata Totok.

Perayaan Imlek turut mewarnai Indonesia yang sejak dulu penuh warna dalam semua sisi. Menegaskan keragaman dan keindahan Indonesia. (TIA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com