Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat Terlambat Menata Permukiman di Jakarta Utara

Kompas.com - 18/02/2013, 11:05 WIB
Imanuel More

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Deretan permukiman kumuh tidak sulit ditemukan di wilayah utara Jakarta. Mulai dari Kamal Muara, Penjaringan, hingga Marunda, Cilincing, terdapat ratusan lokasi permukiman kumuh. Jakarta Utara lantas dikenal sebagai wilayah dengan sebaran permukiman kumuh terbanyak se-Provinsi DKI Jakarta. Kehadiran permukiman kumuh di wilayah Jakarta Utara tidak lepas dari pengembangan wilayah yang tidak disertai dengan penataan permukiman.

Setelah cukup lama berkembang sebagai kawasan industri, kepelabuhanan, pusat perniagaan dan jasa, serta properti, kesiapan infrastruktur permukiman murah terlambat disediakan pemerintah. Tenaga kerja murah yang disedot ke sektor-sektor tersebut maupun ke sektor informal yang menopang pengembangan kota seolah-olah dibiarkan berkreasi sendiri menciptakan solusi atas kebutuhan hunian. Alhasil, muncullah berbagai kawasan permukiman tak layak huni. Tak hanya itu, permukiman liar yang menyerobot lahan negara pun menyebar dari Muara Angke hingga ke Cilincing.

"Pembangunan di Jakarta selama ini tidak didukung dengan pembangunan rumah murah untuk warga," kata Yayat Supriatna, pengamat perkotaan, saat dihubungi Kompas.com, Senin (18/2/2013).

Infrastruktur perumahan di Jakarta Utara justru lebih banyak dikembangkan oleh pihak swasta. Pengembang properti tentu saja lebih berorientasi profit. Hasilnya, muncullah deretan properti untuk kalangan menengah-atas mulai dari Pantai Indah Kapuk hingga ke Kelapa Gading. Nilai tanah pun meningkat drastis dan semakin tak terjangkau bagi masyarakat kecil atau tenaga buruh yang beraktivitas di wilayah seluas 7.133,51 km persegi itu.

"Selain karena harga tanahnya yang semakin mahal, kebijakan ini seperti dilepas ke mekanisme pasar," ujar Yayat.

Rusun dipelopori swasta

Kesadaran akan kebutuhan hunian sederhana dan murah di utara Ibu Kota juga tidak diawali secara langsung pemerintah. Adalah PT Pelindo yang pertama kali membangun rusun di wilayah utara untuk para pekerja perusahaan dan buruh pelabuhan. Abudin, Ketua RW 010 Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cililincing, menuturkan, rusun tersebut mulai dibangun pada 1995.

"Terdiri dari empat blok dengan 756 unit dan terbagi dalam 20 RT," kata Abudin.

Pengembang permukiman murah selanjutnya adalah lembaga karitatif Buddha Tzu Chi yang membangun rusun sewa di Muara Angke pada 2003. Keberadaan rusun tersebut justru diminati warga sekitar meskipun masih sangat terbatas untuk menampung membeludaknya warga berekenomi lemah. Pemerintah justru kalah cepat dibandingkan laju pertumbuhan permukiman liar.

Setelah begitu banyak warga mengisi lokasi kolong jalan tol Tanjung Priok-Pluit, lahan tambak di Muara Angke, lokasi seputar Waduk Pluit, lahan sekitar rel kereta api Pademangan, dan sekitar Cakung Drain di Cilincing, program rusun baru diseriusi pada 2005. Akibatnya, warga yang sudah lama menetap di lokasi-lokasi tersebut pun terlihat enggan untuk pindah ke lokasi yang disediakan pemerintah.

Berawal dengan pembangunan Rusun Sindang, Koja, pada 2003, di lahan bekas permukiman padat yang dilanda kebakaran, sejumlah rusun lain mulai dibangun. Yang terakhir adalah Rusun Marunda dengan tiga kluster dan 28 blok pada periode 2007-2008. Rumah susun sewa ini diyakini sebagai opsi yang lebih tepat bagi kalangan menengah ke bawah.

"Para pendatang baru pada umumnya memiliki keterbatasan. Sulit menjual rumah susun murah yang harganya sudah mencapai Rp 200 juta-an lebih. Rumah sewa jarang dibangun," kata Yayat.

"Landbanking" dan keseriusan Jokowi-Basuki

Sejak masa kampanye, pasangan Gubernur-Wakil Gubernur DKI saat ini, Jokowi-Basuki, sudah getol menyatakan pentingnya ketersediaan permukiman bagi warga sederhana. Ketersediaan infrastruktur perumahan yang berimbang bagi masyarakat dari berbagai kalangan menjadi fokus perhatian. Salah satu kebijakan yang akan ditempuh adalah menyediakan atau membeli lahan untuk dijadikan kawasan permukiman bagi warga kelas menengah ke bawah. Pilihan ini pada periode-periode sebelumnya belum dilirik pemerintah.

"DKI sebelumnya tidak ada pencadangan lahan untuk rumah. Pemerintah tidak menjalankan konsep landbanking," kritik Yayat.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com