Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan hampir selesai. Dalam waktu dekat, RUU Ormas akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disetujui ditetapkan menjadi UU. Namun, penolakan terus bergulir. Ribuan elemen masyarakat sipil dan buruh sudah berunjuk rasa di DPR.
Koordiantor Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar menilai, RUU Ormas
Mengapa RUU Ormas (revisi UU No 8/1985 tentang Ormas) ditolak banyak kalangan, khususnya organisasi masyarakat yang kritis, termasuk organisasi buruh? Ada empat alasan mendasar yang dikeluhkan sebagian lembaga swadaya masyarakat, ormas, dan buruh.
Pertama, ketentuan umum ormas (Pasal 1) dalam draf RUU Ormas yang dinilai sangat luas dan politis. Ketentuan umum membuka peluang interpretasi yang beragam sesuai kepentingan penguasa. Bahkan, dalam
Kedua, pembedaan ormas
Dimasukkannya perkumpulan dan yayasan ke dalam UU Ormas dinilai dapat mengacaukan sistem hukum, khususnya terkait dengan hukum perdata. Selama ini, yayasan diatur dengan UU No 28/2004 tentang Yayasan. Saat ini, DPR belum membuat UU Perkumpulan.
Direktur Program Imparsial Al Araf menilai, di banyak negara, ormas berbasis keanggotaan diatur UU Perkumpulan dan ormas berbasis aset atau non-anggota diatur UU Yayasan. ”UU Ormas mencampuradukkan yayasan dan perkumpulan sehingga dapat mengacaukan hukum keperdataan,” katanya.
Ketiga, persyaratan pendirian ormas. Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti mengungkapkan, salah satu syarat pendirian ormas adalah mendapat pertimbangan instansi
Dalam Pasal 12 Ayat (2) disebutkan, pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia. Dalam Ayat (3) dicantumkan juga, pengesahan sebagai badan hukum perkumpulan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dilakukan setelah meminta pertimbangan dari instansi terkait. Dalam penjelasan Ayat (2) tidak sebutkan apa instansi terkait tersebut dan hanya disebutkan ”cukup jelas”.
Definisi perkumpulan pun tidak ditegaskan dalam RUU Ormas. Karena itu, buruh khawatir, organisasi buruh, seperti serikat pekerja, dikelompokkan sebagai perkumpulan atau bagian dari ormas sebagaimana
Padahal, selama ini, menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Said Iqbal, organisasi buruh cukup didaftarkan di kantor dinas ketenagakerjaan setempat. ”RUU Ormas berpotensi membatasi dan menghambat gerakan buruh,” ujarnya.
Keempat, pemberdayaan pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 41) yang dinilai dapat memberi peluang intervensi pemerintah terhadap sepak terjang ormas, terutama ormas kritis, terhadap kebijakan pemerintah. Dalam Pasal 41 Ayat (1) diatur, pemerintah dan atau pemerintah darah melakukan pemberdayaan ormas untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan ormas.
Al Araf mengatakan, ”Kita bukan tidak mau diatur pemerintah. Jika mau diatur, pengaturan harus menggunakan produk perundang-undangan yang tepat, seperti UU Yayasan dan UU Perkumpulan.”
Terkait berbagai kritik itu, Ketua Panitia Khusus RUU
Apakah DPR akan mengesahkan RUU Ormas, tentu hal itu sangat tergantung pada desakan masyarakat, termasuk buruh. RUU Ormas seharusnya dapat memberi kepastian bagi masyarakat, bukan ketidakpastian. Ketidakpastian dari RUU Ormas itu hadir dalam kerancuannya mengatur ormas yayasan, ormas perkumpulan, dan ormas tanpa bentuk badan hukum.