Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Air untuk Generasi, Bukan untuk Kepentingan Lima Tahun

Kompas.com - 05/03/2013, 03:09 WIB

Sumiyah (32), warga Muara Baru RT 001 RW 017, Penjaringan, Jakarta Utara, sibuk menghitung uang tersisa di dompetnya, Minggu (10/2). Dia baru saja membayar air pikulan Rp 15.000. ”Setiap hari saya beli air Rp 15.000 buat berlima. Air ini saya beli dari pedagang air pikulan,” kata Sumiyah.

Ibu tiga anak ini mengaku harus pandai mengatur keuangan rumah tangga. Suaminya hanya bekerja sebagai buruh serabutan di Pelabuhan Muara Baru, sedangkan Sumiyah membuka warung rokok di tepi Jalan Muara Baru Raya.

Apa yang dialami Sumiyah sungguh sebuah ironi. Jakarta yang pengelolaan air minum sudah diusahakan oleh PDAM Jaya bekerja sama dengan swasta, ternyata juga belum bisa memberikan layanan kepada seluruh warga Ibu Kota. Hingga kini dua perusahaan swasta yang mengelola air di Jakarta baru melayani 60 persen rumah tangga Jakarta. Tingkat kebocoran juga masih tinggi. PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) baru berhasil menurunkan kebocoran dari 59,4 persen tahun 1999, menjadi 37,9 persen akhir tahun 2012. Sementara Aetra Air Jakarta lebih parah lagi, dari kebocoran 58,27 persen tahun 1998, dan masih 45,49 persen akhir tahun 2012.

Harga air yang dijual juga sangat mahal. Tarif rata-rata kedua operator swasta itu sebesar Rp 6.000-Rp 7.000 per meter kubik. Padahal harga air baku dari Jasa Tirta II tidak sampai Rp 300 per meter kubik. Lalu ditambah biaya pengolahan, sekitar Rp 700 per meter kubik. Adapun air bersih dibeli Palyja dari Tangerang hanya sekitar Rp 2.500 per kubik.

Kesehatan PDAM

Jika di Jakarta air sangat mahal, PDAM-PDAM di daerah justru menjual airnya dengan harga yang sangat murah. Di Sibolga, Sumatera Utara, air hanya dijual dengan harga Rp 600 per kubik. Sementara harga air baku Rp 2.000 per kubik. Akibatnya, PDAM tidak bisa memberikan layanan yang optimal. Dari tahun ke tahun layanannya semakin buruk. Jangankan mengembangkan layanannya, memperbaiki fasilitas yang rusak, PDAM juga tidak punya uang.

Menurut catatan Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, jumlah PDAM di Indonesia sampai tahun 2011 mencapai 391 perusahaan. Dari jumlah itu, sebanyak 335 PDAM telah dinilai kinerjanya oleh BPPSPAM. Hasilnya, dari 335 PDAM yang telah dinilai, hanya 144 PDAM yang dinilai sehat. Sehat di sini artinya bisa membiayai kebutuhannya sendiri. Stempel sehat itu diberikan berdasarkan aspek keuangan, operasi, pelayanan, dan sumber daya manusia.

Dari beberapa kenyataan di atas, seperti kebocoran air yang masih tinggi, tarif yang tidak wajar (baik kemahalan maupun terlalu murah), dan kurang dari separuh PDAM yang sehat, bisa disimpulkan manajemen pengelolaan pengusahaan air minum masih amburadul.

Salah satu kunci untuk memperbaiki manajemen ini adalah menetapkan tarif yang wajar. Namun pemerintah daerah tidak berani menaikkan tarif karena takut diprotes rakyat. Protes itu dapat mengancam mereka tidak akan terpilih lagi pada lima tahun berikut.

Padahal dengan tarif yang rendah, konsekuensi yang harus ditanggung perusahaan akan sangat besar. Gaji yang rendah akan membuat loyalitas dan rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan akan sangat rendah. Mereka akan berbuat curang untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com