JEPARA, KOMPAS
Padahal, sejatinya pemikiran Kartini tidak melulu tentang mengangkat derajat kaum perempuan. Sebab, pada masanya Kartini telah memikirkan kemajuan ekonomi kerakyatan, khususnya di Jepara, Jawa Tengah, sehingga dapat dimaknai secara baru pada zaman ini.
Hal itu terungkap dalam
Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam sambutan yang dibacakan Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto mengatakan, berkat Kartini, perempuan tidak sekadar menjadi ”kanca wingking” atau teman pelengkap. Perempuan tidak lagi bekerja di dapur, tetapi turut berperan di bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial.
Selain itu, perempuan harus pula menjadi penjaga budaya. Apalagi, saat ini banyak budaya asing yang masuk ke Indonesia yang dapat merusak masa depan anak bangsa. Budaya lokal pun banyak yang sudah mulai ditinggalkan.
”Perempuan tetap harus berperan sebagai ibu. Ibu yang menjaga anak-anaknya sekaligus ibu yang menjaga budaya tetap lestari,” kata Siswanto.
Aktor senior Indonesia sekaligus perwakilan Swara Kita Foundation, Alex Komang, menilai, peringatan Hari Kartini selama ini masih di tingkat permukaan. Misalnya, penggunaan kebaya, lomba berkebaya dan sanggul, memasak, merangkai bunga, dan mengunjungi museum.
”Kalau cara itu terus berulang, generasi masa depan akan semakin tidak memahami diri Kartini sebenarnya. Untuk itu, perlu ada pemaknaan baru terhadap pemikiran Kartini di zaman ini,” kata Alex.
Penulis buku Kartini, Pembaharu Peradaban, Hadi Priyanto, mengatakan, dengan pemikirannya, Kartini menjadi salah satu tokoh pembaharu peradaban. Apalagi, kini perempuan dapat bersekolah, produk kerajinan dipromosikan ke luar negeri, dan karakter bangsa terjajah diangkat menjadi bangsa mandiri dan berpendidikan.
Kendati demikian, masih banyak pula masyarakat yang tidak mampu dan tidak bisa mengenyam pendidikan. Banyak perajin kecil gulung tikar akibat tertindas pemodal besar. ”Jadi, perlu ada Kartini-Kartini baru yang dapat menjawab tantangan itu,” kata Hadi.