Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kami Merasa Lebih Nyaman"

Kompas.com - 15/05/2013, 03:55 WIB

K09 dan Mukhamad Kurniawan

Mereka sama-sama dari kawasan Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara. Kini mereka terpisah. Sebagian pindah ke rumah susun, tetapi tak sedikit yang bertahan tinggal, bahkan mati-matian menolak pengosongan lahan.

Dengan terburu-buru, Hotmauli Situmorang (42) meninggalkan rumahnya di Rusun Marunda Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (14/5) siang. Ia mengambil ijazah sekolah dan sertifikat kecakapan sebelum kembali ke lokasi kerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung.

”Ada peluang jadi anggota satpam. Upahnya lebih tinggi ketimbang tenaga kebersihan yang dibayar Rp 75.000 per hari,” kata Hotmauli.

Ia adalah satu dari 250 warga baru Rusun Marunda, mantan penghuni Waduk Pluit, yang difasilitasi PT KBN (Persero) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk bekerja di KBN Cakung dan Marunda. Sebagian besar bekerja sebagai tenaga kebersihan kawasan.

Seperti mantan penghuni Waduk Pluit yang direlokasi pemerintah, Hotmauli sedang memulai hidup baru di Marunda. Pekerjaan, sekolah bagi anaknya, hunian, juga lingkungan yang baru. Mei ini adalah bulan ketiga mereka tinggal di Rusun Marunda. Anak sulungnya, Febrina Christi (21), dapat kesempatan yang sama bekerja di KBN. Sementara anak keduanya, Riris Novita Sari (12), memulai sekolah di lokasi baru, SMP Negeri 162 Jakarta Utara.

Tak berhak

Sebelum pindah ke rusun, Hotmauli sebenarnya tergolong mapan di Muara Baru, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Di sisi utara Waduk Pluit, ia memiliki enam unit kos yang setiap unit disewakan Rp 200.000 per bulan. Ia juga punya tempat tinggal permanen di atas lahan 6 meter x 23 meter yang dia beli Rp 15 juta tahun 1990-an.

Akan tetapi, Hotmauli dan suaminya, Jamlihar Damanik (45), memutuskan ikut pemerintah saat diminta meninggalkan Waduk Pluit. Selain terlarang bagi hunian, kapasitas waduk jauh menurun dibandingkan dengan desain awalnya. Luas awalnya 80 hektar, tetapi 20 hektar di antaranya telah ditumbuhi hunian liar. Kedalamannya juga tinggal 1-3 meter dari seharusnya 7-8 meter.

”Kami tinggal di tanah negara. Karena itu, saat diminta pemerintah untuk mengosongkan lahan, kami langsung pindah meski ada beberapa warga yang melarang. Kami tak berhak tinggal di lahan negara,” tuturnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com