Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Macet Bawa Kerugian Rp 65 Triliun

Kompas.com - 16/05/2013, 03:12 WIB

Jakarta, Kompas - Prediksi Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA), kerugian ekonomi akibat kemacetan di DKI Jakarta periode 2002-2020 akan mencapai Rp 65 triliun. Angka kerugian itu didapat dari hasil penelitian dengan cara menghitung kerugian karena aktivitas ekonomi yang terhambat atau bahkan lumpuh akibat kemacetan di Jakarta.

Hasil penelitian itu disampaikan Hajime Higuchi, perwakilan JICA Indonesia Office, dalam acara ”Workshop on Quick and Tangible Resolution to Mitigate Traffic Congestion in the Jabodetabek Area”, di Jakarta, Rabu (15/5).

Selain itu, kata Higuchi, penelitian JICA juga menunjukkan bahwa Jakarta termasuk dalam kota yang kurang nyaman untuk bepergian. Hal itu karena Jakarta memiliki rasio antara panjang jalan dan luas wilayah terbilang rendah, yakni 8 persen.

Untuk wilayah Jabodetabek, kemacetan terjadi karena pengendara kendaraan bermotor milik pribadi terus meningkat. Pada tahun 2002, sebesar 50,1 persen masyarakat menggunakan angkutan umum, 27,8 persen memakai sepeda motor, dan 15,2 persen menggunakan mobil. Namun, pada tahun 2010 sudah berbalik, yakni 62,9 persen masyarakat memilih sepeda motor, 17,4 persen menggunakan mobil, dan 16,7 persen memilih angkutan umum.

Menyikapi kondisi itu, Higuchi mengatakan, Pemerintah Indonesia harus melakukan berbagai upaya komprehensif. Dalam arti, membuat kebijakan terpadu menyangkut angkutan umum dan rencana pengembangan makro masa depan, mengembangkan akses jalan, dan mengampanyekan peralihan penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum.

Kambing hitam

Sementara itu, seusai peluncuran Toyota Avanza seri baru di Jakarta, Presiden Direktur PT Toyota Astra Motor Johnny Darmawan mengatakan, industri otomotif tidak bisa dijadikan kambing hitam atas terjadinya kemacetan. Semua pihak harus duduk bersama untuk mencari solusi atas persoalan itu.

Menurut Johnny, manajemen lalu lintas yang baik seperti di Eropa atau Jepang akan mampu mengurangi tingkat kemacetan.

”Di Indonesia, kita bisa lihat, ada tanda dilarang stop pun kendaraan bisa berhenti, putar balik bisa di mana-mana, menyalip dari sebelah kiri, dan lain sebagainya,” lanjutnya.

Johnny juga mempertanyakan mengapa tidak ada pemikiran untuk mengeluarkan kebijakan seperti diterapkan di Tokyo.

”Di Tokyo, kalau ada mobil tua berumur 10-15 tahun, pemiliknya kaya banget sebab izinnya bisa seharga mobil itu. Ketika Jakarta sudah dipenuhi mobil, bisa dipikirkan kendaraan yang sudah tidak memenuhi kriteria tertentu boleh beredar di luar Jakarta,” ujarnya.

Penegakan hukum juga harus dilakukan untuk menghindarkan kemacetan akibat pelanggaran atau ketidakdisiplinan pengendara. Di sisi lain, industri otomotif telah berkontribusi melalui pembayaran pajak yang besar, penanaman investasi yang besar, penyerapan tenaga kerja, dan perolehan devisa melalui ekspor otomotif. (egi/cas)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com