Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsistensi Pemprov Diuji di Waduk Pluit

Kompas.com - 20/05/2013, 09:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Apabila melihat permukiman kumuh di kawasan Waduk Pluit, Jakarta Utara, serasa tidak berada di Ibu Kota negara. Rumah-rumah darurat, semi- permanen, dan sebagian permanen berdesakan dengan bentuk tak beraturan di area waduk.

Di sisi timur waduk saja terdapat 17.000 keluarga yang mendiami kawasan resapan air itu. Sebagian besar menyewa dari orang yang mengambil keuntungan menduduki lahan negara.

Akibatnya, Waduk Pluit tidak dapat diandalkan lagi sebagai tempat penampungan air. Padahal, sejak dibangun tahun 1963, waduk tersebut di desain menjadi sarana pengendali banjir dalam sistem polder.

”Itu kesalahan pemerintah yang membiarkan permukiman liar tumbuh selama 30 tahun. Kami akan bereskan, mengembalikan fungsi waduk seperti semula,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, dalam beberapa kesempatan di minggu pertama dan kedua bulan Mei 2013.

Niat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, membenahi kawasan ini dimulai setelah banjir besar, Januari lalu. Ketika itu, banyak orang sadar, betapa pentingnya peranan Waduk Pluit. Seluruh aliran banjir di pusat kota mengarah ke sana. Waduk tidak dapat menampung lagi limpahan air tersebut. Banjir akibat ketidakmampuan waduk menampung air berdampak serius terhadap aktivitas ekonomi, sosial, dan kesehatan warga.

Kondisi itulah yang mendorong Pemprov DKI Jakarta segera merealisasikan normalisasi waduk. Pascabanjir Januari lalu, proyek normalisasi mulai dilakukan. Pintu masuk air diperlebar, sampah dibersihkan, dan pengerahan alat berat berlangsung hampir setiap hari.

Pemprov berhasil merelokasi 300 warga di sisi barat waduk. Sebagian ditempatkan di rumah susun sewa yang tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Timur, ataupun di Jakarta Barat.

Pemprov DKI mengalokasikan anggaran untuk proyek ini hampir Rp 1 triliun. Anggaran yang dimaksud adalah untuk pembangunan sheet pile (dinding beton) sebesar Rp 190 miliar dan biaya pengerukan waduk dianggarkan Rp 800 miliar.

Tidak gampang

Namun, merealisasikan program ini tidak gampang. Sebagian dari ribuan warga yang menempati area waduk menolak pindah. Warga bahkan meminta perlindungan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sempat beredar opini bahwa Pemprov DKI telah melanggar HAM.

Tudingan ini dibantah Jokowi ataupun Basuki. Menurut mereka, Pemprov DKI justru ingin menertibkan orang-orang yang mencari keuntungan dengan menyewakan lahan negara kepada orang lain. Padahal, Pemprov DKI bukan mengusir, tetapi memindahkan mereka yang selama ini menyewa rumah milik seseorang di waduk ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa).

Rusunawa itu dilengkapi dengan fasilitas mebel, lemari es, kasur, dan sebagainya. ”Di mana letak pelanggaran HAM-nya,” kata Jokowi.

Menurut Jokowi, terlalu banyak kelompok kepentingan di Pluit. Oleh karena itu, sulit mencari aspirasi warga yang tulus dan jujur. Jokowi mengaku beberapa kali bertemu warga, tetapi setiap pertemuan membawa kepentingan yang berbeda.

Namun, warga yang tinggal di kawasan Pluit, Syahroni, mengaku belum pernah bertemu Jokowi. Syahroni, Ketua RT 019 RW 017, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, ini sangat ingin bertemu gubernur dan menyampaikan persoalan yang dihadapinya.

”Saya mendengar di media, Pak Jokowi sudah dialog dengan warga, warga yang mana, ya? Mungkin warga yang lain, atau ada orang yang mengaku sebagai warga Muara Baru,” tutur Syahroni.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com