Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengaturan Dana Kampanye Dilematis

Kompas.com - 28/05/2013, 02:45 WIB

Bandung, Kompas - Pengaturan dana kampanye partai politik melalui regulasi, baik untuk calon anggota legislatif, calon kepala daerah, maupun calon presiden, dalam kondisi politik masih dilematis. Sebab, saat ini konstelasi politik masih dipenuhi kepentingan koruptif. Ketika regulasi dibuat, kepentingan tersebut masuk di dalamnya.

Hal itu diungkapkan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana seusai diskusi Mewujudkan Pemilukada yang Bersih dari Politik Uang, yang digagas Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung, Senin (27/5), di Bandung. Sekarang, yang penting, menurut Denny, dana itu harus adil, tidak mengandung penyakit-penyakit korupsi. Asetnya harus bisa diakses Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan karena hubungan kedua lembaga itu cukup baik.

Denny menyebutkan, pengaturan dana kampanye harus dijaga. KPU, KPK, dan PPATK harus bisa mengakses dana kampanye para caleg, calon bupati/wali kota, calon gubernur, hingga calon presiden. Di luar itu semua, dalam jangka menengah dan panjang, rakyat pemilih harus memiliki kontribusi untuk melihat rekam jejak para kandidat.

”Dulu pernah ada nasihat, ’ambil uangnya, jangan pilih calonnya’, harusnya tidak demikian. Pemilih juga harus tegas, jangan juga mengambil uangnya,” ujar Denny.

Sudah saatnya rakyat pemilih cerdas menghapus mindset untuk menerima politik uang sehingga demokrasi di republik ini berjalan sesuai yang diharapkan.

Dalam diskusi, aktivis antikorupsi Fadjroel Rachman mengatakan, dari penyelesaian sengketa pilkada oleh Mahkamah Konstitusi, baik yang menggugat maupun yang digugat sama-sama menggunakan politik uang. Ia mencontohkan, dalam Pilkada Jawa Barat dan Banten serta Tangerang Selatan, besarnya politik uang berkisar Rp 200.000-Rp 300.000.

Hingga pemilu ketiga setelah Reformasi, politik uang dalam pesta demokrasi semakin kental sehingga konsolidasi demokrasi di negeri ini masih panjang. Padahal, mengutip penelitian SP Huntington, konsolidasi demokrasi berlangsung dalam dua kali pemilu. Ia mengajak semua pihak tidak lelah melawan politik uang dan korupsi karena dengan bergantinya generasi, hal itu akan berperan mengubah kondisi itu.

Yudi Latif, pengamat politik yang juga pemikir kenegaraan, mengatakan, bangsa ini harus berusaha menciptakan demokrasi yang murah. Ia menilai, eksperimen demokrasi yang dijalankan saat ini telah gagal karena berbiaya sangat mahal. Demokrasi yang mahal ini makin memperlebar kesenjangan sosial. ”Di daerah, sumber daya lokal habis dieksploitasi untuk menutup biaya yang dikeluarkan selama pilkada,” ujarnya.

Upaya menciptakan demokrasi yang murah bisa dilakukan, misalnya dengan membatasi biaya iklan dan verifikasi dana yang masuk ke parpol atau kandidat. Rakyat pemilih harus diberdayakan agar melek moral sehingga paham terhadap batas-batas moral dalam berdemokrasi. Misalnya, hak politik itu bukan private property yang bisa diperjualbelikan, melainkan hak warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk kebajikan bersama, batas-batas moral itu harus ditegakkan. Kalau tidak, bangsa ini masuk ke demokrasi yang sesat karena biayanya sangat mahal.(dmu)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com