Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Tertib Sosial di Muara Angke, Mendongkrak Perekonomian Nelayan

Kompas.com - 08/06/2013, 12:06 WIB
Windoro Adi

Penulis

WINDORO ADI

Hari masih pagi, tetapi lalulintas jalan di kawasan Pelabuhan Muara Angke, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, sudah dipadati truk-truk bermuatan ikan dan hasil laut lainnya, serta gerobak-gerobak ikan. Pukul 05.30, di tikungan, sebelum masuk pelabuhan, Aiptu Gatot S dan Aipda Sardi, anggota Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkantibmas), Subsektor (dulu Pospol) Muara Angke, tampak mengatur lalulintas.

Pukul 09.00, keduanya pergi ke tempat pelelangan ikan (TPI), mengamati proses bongkar muat kapal. Satu persatu drum-drum ikan dan hasil laut lainnya diturunkan dari kapal. Sesekali, Aiptu Gatot dan Aipda Sardi memisahkan diri, menyapa para nelayan, supir, petugas pelelangan, dan juru parkir.

“Semenjak ada polisi njagain bongkar muat kapal, kami tidak lagi dipalak. Biasanya ikan kami diminta jatah sama preman. Bisa sampai 30-40 kilogram,” ungkap nelayan Sofyan (34) di tengah kesibukannya.

Hiruk pikuk di TPI reda menjelang pukul 12.00. Meski demikian, TPI masih terkepung aroma ikan segar. Angin pantai dan matahari membawanya jauh ke lingkungan pemukiman nelayan.

Usai makan siang, sekitar pukul 13.00 hingga sore hari, Aiptu Gatot dan Aipda Sardi datang ke pemukiman nelayan untuk menyapa. “Setiap hari kami mendatangi tiga sampai lima rumah warga. Tetapi setiap hari kami selalu mendatangi satu ketua RW di Muara Angke,” jelas Aiptu Gatot.

Keduanya bukan hanya menemui warga, memonitor perkembangan situasi dari hari ke hari, tetapi juga menawarkan bantuan. “Tentu saja yang masih berhubungan dengan tugas-tugas kami,” tambah Aipda Sardi.

Malam hari, Aiptu Gatot dan Aipda Sardi berpatroli, mengunjungi pos-pos kamling di lingkungan Muara Angke. “Kami juga menyapa warga yang sedang hajatan dan mengingatkan tentang keamanan dan ketertiban lingkungan. Jangan sampai hajatan warga menjadi ajang pertikaian,” ucap Sardi.

Tugas patroli lingkungan dilakukan bergantian oleh lima anggota subsector lainnya. “Sejak Kapolsek Kawasan Sunda Kelapa dipimpin Kompol Radhitya, tahun 2012, kami menerapkan pendampingan polisi – satu polisi untuk satu RT, yang dikendalikan tiga perwira,” tutur Aiptu Gatot. Di kampung nelayan, lanjutnya, ada tiga RW – 1, 11, dan 20 yang memiliki 31 RT.

Sepeda motor

Ketua RW 11, Kafidin yang ditemui mengatakan, sejak empat tahun lalu, angka kejahatan di lingkungannya, merosot, terutama pencurian sepeda motor. Apalagi setelah polisi dan warga membangun sistem portal sejak dua tahun lalu di 17 gang.

“Sekitar 80 persen sepeda motor warga di sini diparkir di depan halaman rumah karena lahan terbatas. Sebelum patroli ditingkatkan dan ada pembangunan portal, setiap bulan rata-rata terjadi 10 kali pencurian sepeda motor,” ucap Kafidin.

Laporan Polsek Kawasan Sunda Kelapa menyebutkan, selama tiga tahun terakhir, pencurian sepeda motor masih diperingkat dua, di bawah kasus Narkoba. “Para pelaku umumnya mencuri sepeda motor matik tanpa pengaman rumah kunci atau tanpa penutup rumah kunci. Apalagi bila sepeda motor ini diparkir di tempat yang tidak aman,” jelas Kanit Reskrim Polsek Kawasan Sunda Kelapa, AKP Hadi Suripto. Ia mengimbau, sebaiknya para pemilik sepeda motor matik, memasang kunci pengaman tambahan.

Menurut Hadi, para pencuri sepeda motor ini bukan berasal dari lingkungan warga. Ia lalu memberi contoh kasus pencurian tiga sepeda motor oleh empat pelaku yang ditangkap, saat menawarkan sepeda motor curian ke pekerja pelabuhan, Rabu (1/8/2012).

“Pelaku juga menawarkan senjata api seharga Rp 8 juta kepada polisi yang menyamar. Pertemuan berlangsung di Dermaga Timur Pelabuhan Muara Baru Penjaringan,” jelas Hadi.

Setelah berada di lokasi, penjualan senjata api dibatalkan pelaku. Mereka lalu menawarkan sepeda motor. “Kami berpura-pura berminat membeli. Setelah mereka membawa 3 sepeda motor curian, kami meringkus mereka,” ujar Hadi. Sepeda motor curian itu, lanjutnya, ditawarkan seharga Rp 1,5 juta.

Kafidin mengakui, kerjasama pengamanan lingkungan oleh polisi dan warga yang kian membaik, tidak akan mampu melenyapkan premanisme sepanjang kesejahteraan warga belum memadai. “Tapi sekurangnya sekarang, aksi premanisme sudah tidak lagi dilakukan secara terang-terangan,” ujarnya.

KDRT

Kata Kafidin dan Aiptu Gatot, kejahatan yang kini menonjol justru muncul dari dalam rumah warga – KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Tetapi kasus kasus ini tidak sampai ke tangan Polsek Kawasan Sunda Kelapa. “Selesai sampai subsektor saja lewat hubungan kemitraan polisi dengan para pemuka lingkungan. Kasus diselesaikan secara kekeluargaan,” ucap Aiptu Gatot.

Ia berpendapat, kasus-kasus KDRT sering terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan, dan tingginya tingkat kemajemukan warga. Beruntung, warga masih enggan berurusan dengan pengadilan. Menurut Gatot, rata-rata sebulan muncul 4-5 kasus KDRT dan pertengkaran antar suku.

Bhabinkamtibmas, kata Gatot, meredam kasus-kasus seperti ini dengan membentuk Kelompok Kesadaran Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdarkamtibmas yang populer disebut Pokdar).

Andi Jefludin (52), warga setempat mengakui, kondisi keamanan dan ketertiban di pemukiman nelayan Muara Angke sekarang, sudah jauh lebih baik. Menurut dia, tahun 1980 sampai tahun 1995, pertikaian antar suku sering meluas dan berakhir dengan tewasnya sejumlah korban.

“Setiap dinihari, ratusan preman sudah berkumpul di pelabuhan, menunggu para nelayan yang melaut, datang menurunkan ikan. Para preman ini minta jatah ikan dari para nelayan. Kalau nggak dikasih, bisa saling bunuh. Ujung-ujungnya bisa perang antar suku,” ungkapnya.

Setelah polisi dan warga membentuk Pokdar, kekacauan di pelabuhan ikan itu secara bertahap mereda. Di Pokdar, seluruh pemuka suku dan figur berpengaruh lainnya, diminta menjadi pengurus. Mereka bertugas mengarahkan para preman dan mencegah mereka berbuat onar. Sebagai ganjarannya, para preman ini diberi pekerjaan seperti mengatur lalulintas dan parkir.

“Setiap bulan kami memberi upah untuk empat orang yang mengatur lalulintas dan parkir, masing-masing Rp 500 ribu,” ucap Ketua Pokdar Muara Angke, Hartono Tasmin.

“Jika terjadi keributan, para pengurus Pokdar menyelesaikannya secara kekeluargaan,” papar Andi yang kini menjadi Sekretaris Pokdar. Kehadiran Pokdar membuat para preman sadar akan pentingnya ketertiban dan keamanan mendukung putaran roda ekonomi di pelabuhan.

“Kalau ada preman baru masuk merusak ketertiban, maka yang menghadapi adalah para preman yang sudah mendapat kesadaran dari Pokdar,” jelas Andi.

Wakil Ketua Pokdar, Anto Asnim menambahkan, Pokdar mulai dibentuk Kapolres Pelabuhan Tanjung Priok tanggal 6 Juli 2010. “Jumlah anggota Pokdar Muara Angke sekarang, 67 orang,” ujarnya. Dari jumlah tersebut, 46 orang di antaranya dibekali handy talkie dan alat komunikasi RIG yang ditempatkan di tiap Posko.

“Jaringan RIG dihubungkan dengan Polres Pelabuhan Tanjung Priok. Jika terjadi peristiwa besar, anggota Polres bisa cepat datang ke lokasi,” ucap Anto.

Aiptu Gatot mengakui, kehadiran Pokdar meringankan tugas polisi. Arus keluar masuk barang di pelabuhan pun menjadi lebih lancar sementara ketertiban di TPI terjaga, meski hiruk pikuk.

Roda ekonomi

Kepala Seksi Fasilitas Ketentraman Ketertiban dan Perumahan Nelayan, Kantor Pelabuhan Muara Angke, Iwan Sudarmawan yang ditemui terpisah mengatakan, kondisi yang relatif tertib dan aman, mulai dirasakan sejak 5 tahun terakhir. Menurut dia, ada tiga unsur yang berperan, anggota polisi subsektor, Satpol PP di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelabuhan Muara Angke, dan Pokdar.

“Mereka lah yang ikut mendorong terwujudnya perputaran uang Rp 100 milyar setiap harinya, sejak lima tahun terakhir. Perputaran uang ini disangga oleh 11.000 pekerja yang tidak hanya bekerja di lingkungan TPI, tetapi juga bekerja di usaha ekspor, pasar grosir, pengasinan, sampai ruang pendingin,” papar Iwan.

Setiap hari, lanjutnya, Pelabuhan Ikan Muara Angke menghasilkan 200 ton ikan dan hasil laut lainnya. Dari jumlah tersebut, 140 ton di antaranya berasal dari daerah. “Tahun 2005 dan tahun tahun sebelumnya, jumlah totalnya cuma mencapai 180 ton. Angka selebihnya hilang dirampas para preman,” ujar Iwan.

Awang (52), warga RT 04 RW 01 pun mengakui, kini ia sudah bebas dari para pemalak ikan. “Pendapatan saya perbulan dari melaut sekarang, Rp 2,5 juta – Rp 3 juta. Dulu, dari 30-40 kilogram ikan dan hasil laut lainnya yang saya dapat, 10 persennya harus diserahkan para pemalak. Belum lagi uang jatah preman sekali melaut yang mencapai Rp 100 ribu – Rp 200 ribu,” ucapnya senang.

Nelayan lainnya, Ateng, warga RT 12 RW 11 Muara Angke mengaku, kini penghasilannya setiap bulan dari hasil tangkapan ikan 1 kwintal, Rp 4 juta – Rp 5 juta. “Sebagian tabungan saya bisa untuk menutup kebutuhan sehari-hari selama cuaca buruk di bulan Januari-Februari. Dulu, setiap melaut, 30 persen dari hasil melaut hilang ke tangan para preman,” ujarnya.

Jaringan lebih besar

Kriminolog UI, Kisnu Widagso yang dihubungi, Jumat (31/5), memuji pemolisian masyarakat (community policing/polmas/kepolmasan) yang sudah terbangun di sejumlah Polsek di lingkungan Polda Metro Jaya seperti halnya di lingkungan Polsek Kawasan Sunda Kelapa. “Kapolda Metro Jaya pantas menjadikan kepolmasan yang sudah terbangun ideal di sejumlah polseknya, sebagai proyek percontohan bagi polsek-polsek lain,” tuturnya.

Selanjutnya, Kapolda dan jajarannya segera membangun jaringan kepolmasan yang lebih kuat di seluruh wilayah hukum Polda Metro, termasuk bekerja sama dengan pemerintah setempat serta instansi terkait lainnya. “Kalau kepolmasan yang sudah ideal di sejumlah Polsek kurang didukung satu jaringan yang lebih besar, maka satu saat kegiatan Polmas di Polsek Polsek yang sudah ideal ini, bakal memudar karena derasnya urbanisasi di Jakarta,” tandas Kisnu.

Ia mengingatkan, ada persoalan sosial yang muncul di satu polsek, tetapi solusinya justru ada di polsek lain, misalnya soal premanisme, pengangguran, dan lapangan kerja. “Perlu komunikasi dan kerjasama antar polsek, polres, Polda. Selain itu, soal lapangan kerja ini kan bukan wilayah polisi? Padahal di balik persoalan pengangguran, ada persoalan premanisme yang menjadi wilayah polisi. Oleh sebab itu, jaringan polisi perlu dukungan jaringan pemerintah setempat dan instansi terkait lainnya,” tutur Kisnu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com