Jakarta, Kompas
”Kami mengajak pembatik untuk kembali menggunakan pewarna alam,” kata Martin Krummeck, Koordinator Program Clean Batik Initiative (CBI), saat meluncurkan koleksi batik ramah lingkungan, Selasa (11/6), di galeri Kunstkring Paleis, Menteng, Jakarta Pusat.
Program ”batik bersih” CBI ini didukung kamar dagang Jerman di Indonesia (Ekonid) dan didanai bersama Uni Eropa melalui hibah Switch Asia yang fokus pada konsumsi dan produksi berkelanjutan di kawasan Asia. Hibah ini mengucurkan dana hingga 152 juta euro atau sekitar Rp 1,97 triliun untuk periode 2007-2013. Di Indonesia, dana hibah ini diimplementasikan untuk delapan sektor, salah satunya untuk batik ramah lingkungan.
Untuk mendorong perajin batik memproduksi batik ramah lingkungan sekaligus membuka pasar Eropa, sejumlah desainer terkemuka diajak serta. Mereka antara lain Carmanita, Lenny Agustin, Musa Widyatmodjo, dan Caterina Hapsari, yang merancang 42 desain batik eksklusif untuk kalangan menengah atas.
Carmanita mengatakan, kepeduliannya terhadap batik tidak hanya ia terapkan dalam pemanfaatan kain batik sebagai bahan dasar rancangannya. Selain itu, ia juga membina perajin batik untuk mulai memakai kembali pewarna alam.
”Saya pernah mengumpulkan satu truk kulit manggis ketika akan membuat desain baju yang akan dipamerkan di Jepang,” ujarnya.
Produksi batik ramah lingkungan tidak sekadar mengganti pewarna kimia ke pewarna alami, tetapi juga menerapkan teknologi tepat guna. Teknologi tepat guna itu misalnya menggunakan kompor listrik, melarutkan sisa lilin dengan alat pemanas listrik, dan mengolah limbah lilin. Peluncuran koleksi eksklusif itu juga dihadiri para pembatik dari daerah.