Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Tepian Sunda Kelapa Siang Itu

Kompas.com - 15/06/2013, 13:28 WIB
Windoro Adi

Penulis

Kemudi sudah terpasang, layar sudah terbentang
Biar patah kemudi, biar layar  robek
Pantang, balik haluan

Begitulah para pelaut Bugis, Makassar, dan Mandar Sulawesi Selatan (Sulsel). menunjukkan sikap pantang menyerah, dan tekad kuat mereka, seperti disampaikan mantan nahkoda perahu pinisi, Haji Abdul Rahim (67).

Ia ditemui di Pelabuhan Sunda Kelapa, Penjaringan, Jakarta Utara, beberapa pekan lalu. Siang itu, tampak kegiatan bongkar muat di deretan kapal-kapal kayu yang sedang sandar di bibir pelabuhan. Puluhan kuli panggul hilir mudik menurunkan semen, sementara sebagian lainnya memanggul sembako ke atas kapal lewat titian balok-balok kayu.

“Ini adalah deretan kapal-kapal jenis lambo – kapal tradisional Bugis, Makassar, dan Mandar. Jenis kapal tradisional pinisi, nyaris tak pernah tampak lagi sandar di pelabuhan ini,” tutur pria yang dikenal sebagai sesepuh di Pelabuhan Sunda Kelapa ini. Daya angkut kapal kapal lambo saat ini, lanjutnya, sudah 500-1300 ton, dilengkapi mesin dan alat derek.

Sejak sekolah dasar, Pria Bugis asal Bone, Salomeko, Sulsel ini sudah sering diajak berlayar ayahnya. Hampir seluruh sungai dan pelabuhan-pelabuhan tikus di pantai utara tanah Jawa, serta sebagian Sumatera dan Kalimantan sudah ia susuri.

“Pelayaran pertama saya dengan ayah, tahun 1950-an. Kami berlayar bersama tujuh awak kapal dari Palembang ke Riau, menyusur Sungai Indragiri selama lima hari. Daya angkut kapal, 30 ton. Tanpa mesin, hanya mengandalkan layar dan arah angin,” kata ayah enam anak ini.

Dari Palembang, pinisi mengangkut minyak tanah dan solar ke Riau. Dari Riau membawa sagu, kopra, dan kelapa bulat. “Ketika itu ayah saya sudah memiliki tiga kapal pinisi. Kalau orang-orang darat menunjukkan kebesarannya sebagai tuan tanah, maka orang-orang laut seperti kami menunjukkan kebesarannya sebagai raja kapal,” tutur Haji Rahim.

Ia pun mulai mengasah kepekaannya tentang mata angin lewat tiupan angin dan gelombang laut. “Jika ombak datang dari samping arah barat, artinya haluan kapal menghadap utara atau selatan. Arah kapal pun bisa diketahui dari oleng kapal, mengangguk-angguk atau oleng ke kiri-kanan. Saya mengandalkan jenis suara, dan datangnya angin yang melintas telinga saya. Hidung saya pun makin terbiasa mencium bau angin. Saya bisa memastikan posisi kapal sudah sekitar 10 mil (1 mil = 1,5 kilometer) dari darat, dengan mencium aroma tanah yang dibawa angin,” papar Haji Rahim.

Tahun 1966, ia mulai menjadi nahkoda kapal dan mulai meniti karier sebagai raja kapal baru. “Hanya 10 tahun saya di laut. Jalur pelayaran saya dari Masuji, Sumatera, ke Sunda Kelapa, Jakarta. Dari Sumatera mengangkut kayu meranti dan kayu bunai. Dari Jakarta mengangkut sembako. Kadang kami ke Kalimantan mengangkut kayu kamper. Setelah masa itu, saya mulai mengembangkan armada laut saya dari darat,” jelasnya.

Akhir tahun 1970-an, Haji Rahim membangun dok kapal dan membuat kapal-kapal jenis lambo di Batu Licin (sekarang Tanah Bumbung, Kota Baru) Banjarmasin, Kalimantan Selatan. “Bedanya lambo dengan pinisi, bentuk buritan dan bagian tengah lambo lebih lebar dibanding pinisi. Pinisi memiliki dua tiang utama layar, sedang lambo hanya satu,” jelas Haji Rahim.

Lagaligo

“Saya membuat kapal di Kalimantan karena lebih mudah mendapatkan kayu besi di sana. Kapal-kapal yang saya buat sudah berdaya angkut 200 ton,” ungkapnya.Ia tidak tahu, sejak kapan kapal-kapal pinisi dan lambo mulai sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. Tetapi menilik sejarah pelabuhan ini, kapal-kapal tradisional Bugis, Makassar, dan Mandar tersebut sudah hadir sebelum VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie/Persatuan Dagang Hindia Timur) memindahkan kegiatan perdagangannya dari Banten ke Sunda Kelapa.

Naskah Lontarak I La Lagaligo menyebutkan, pinisi mulai digunakan pada abad ke 14. Konon, pinisi pertama dibuat Pangeran Sawerigading dari Kerajaan Luwu. Alkisah,  Sawerigading jatuh hati pada saudara kembarnya sendiri, Watenri Abeng. Ayahnya marah.

Untuk menenangkan suasana, Watenri Abeng lalu membujuk Sawerigading pergi ke Cina. Sebab kabarnya, di sana ada seorang putri Cina nan cantik yang mirip dengan wajah Watenri Abeng. Nama puteri Cina itu We Cudai.

Lalu dibuatlah kapal dari kayu pohon keramat, welengreng, yang tumbuh di daerah Mangkutu. Sebelum menebang pohon itu, digelarlah upacara agar penunggu pohon bersedia pindah ke tempat lain.  Upacara dipimpin La Toge Langi, nenek Sawerigading.

Setelah kapal jadi, berangkatlah Sawerigading ke Cina. Ia melamar We Cundai dan tinggal di Cina. Tetapi rindu pada kampung halaman akhirnya membawa Sawerigading kembali ke Luwu. Menjelang Pantai Luwu, kapal dihajar ombak hingga pecah berkeping.

Kepingan badan kapal terdampar di Pantai Ara. Tali temali dan layar terlempar ke Tanjung Bira, sedang lunas perahu berkeping di Tana Lemo. Warga yang tinggal di ketiga daerah itu lalu menyusun kembali kepingan kapal.

Di kemudian hari, orang-orang Ara dikenal sebagai pembuat badan kapal. Orang Tana Lemo dikenal piawai melakukan sentuhan akhir kapal, sedang orang Tanjung Bira dikenal sebagai nahkoda handal.

Dari kisah itu muncul ungkapan, “Panre patangan'na Bira. Paingkolo tu Arayya. Pabingkung tu Lemo Lemoa” (Mereka yang ulung melihat cakrawala adalah orang-orang Bira. Mereka yang terampil menggunakan singkolo atau alat perapat papan kapal adalah orang-orang Ara, sedang mereka yang piawai menghaluskan kapal adalah orang-orang Tana Lemo). Meski sudah surut, di Desa Bira di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, masih tersisa kegiatan membuat pinisi atau lambo di sana.

Kata Haji Rahim, awal tahun 2000-an, pelayaran rakyat (Pelra) di Pelabuhan Sunda Kelapa yang pernah diramaikan para pelaut dan pengusaha Bugis, Makassar, Madura, dan Banten, mulai surut. “Sekarang tinggal orang-orang Bugis saja yang masih bertahan,” ungkapnya.

Haji Rahim mengakui, persaingan ketat bisnis pelayaran saat ini tak bisa cuma mengandalkan tekad kuat dan pantang menyerah dengan bingkai cerita rakyat nan elok. “Butuh modal lebih kuat untuk memodernisasi dan membangun jaringan bisnis. Butuh dukungan dan keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan Pelra,” ujarnya mengakhiri percakapan.

Pekerja angkut pinisi-lomba, Slamet (45), dan  Fachrul (32), membenarkan kisah Haji Rahim. Menurut dia, sejak tahun 2003, angkutan kayu dari Sumatera dan Kalimantan menuju Pelabuhan Sunda Kelapa, mulai surut. Hal itu menandai surutnya usaha Pelra yang didominasi kapal-kapal pinisi-lomba.

“Sekarang, dari Batam ke Jakarta baru membawa semen, tapi dari Jakarta ke Batam, kosong,” ucap pria yang sudah bekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa sejak tahun 19843 itu saat ditemui di bibir pelabuhan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com