Jokowi tahu tak ada kondisi ideal untuk semua orang pada waktu yang sama. Namun, Jokowi juga tahu, ia harus tetap berpikir di tataran ideal dan melakukan yang seharusnya ia lakukan. Setidaknya, itu tampak dari pendekatan Jokowi yang selalu berusaha mengakomodasi semua pihak.
Ketika ingin melakukan normalisasi waduk, Jokowi juga menyiapkan rumah susun untuk merelokasi warga bantaran waduk. Ketika merencanakan penertiban pedagang kaki lima (PKL), Jokowi juga menyediakan lokasi binaan. Kasus Waduk Pluit adalah contoh yang bisa dikaji.
Mustahil Senangkan Semua Orang
Tidak berarti setiap kebijakan Jokowi disambut senyum dan hujan pujian dari para pihak yang berkepentingan. Penertiban pedagang kaki lima dan parkir liar dapat menjadi contoh, termasuk kekecewaan orangtua murid dan para siswa SMPN 14, Jakarta Timur.
Namun, apakah berarti ketika Joko Widodo dan jajarannya menggulirkan kebijakan terkait PKL, tukang parkir, dan sekolah itu, maka dia mengkhianati pemilihnya? Mungkin manfaat lebih besar dari kebijakan tersebut harus dipilih sebagai kacamata untuk memandang persoalannya.
Jokowi tetaplah hanya manusia biasa. Sebagai manusia biasa, tak mungkin dapat menyenangkan semua orang. Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa sekalipun, dengan segala ke-Maha Kuasa-an-Nya kerap kali membuat orang-orang menggerutu karena "kebijakan"-Nya.
Orang Amerika pernah mencoba menggambarkan betapa tak semua orang bisa disenangkan sebaik apa pun layanan yang didapat, lewat film Bruce Almighty. Film fiksi ini mengangkat cerita bahwa pada suatu ketika Tuhan meminjamkan kekuatannya kepada tokoh Bruce yang diperankan Jim Carrey.
Dengan kekuatan itu, Bruce berusaha menyenangkan semua orang pada waktu yang sama. Apa yang terjadi? Kekacauan! Pada akhirnya Bruce pun meminta Tuhan mengambil kembali kekuatan yang dititipkan kepadanya, dan Bruce memilih kembali menjalani kehidupan normal sesuai takdir sebagai manusia.
Takdir
Berkaca dari semua cerita dan data di atas, barangkali sekaranglah saatnya untuk mengembalikan banyak hal sesuai "takdir" keberadaannya. Jalanan mestinya memang bukan tempat berjualan, maka sudah waktunya pedagang kaki lima mendapatkan tempat berdagang yang seharusnya.
Sudah seharusnya pula waduk dan bantaran sungai terbebas dari hunian di tepiannya. Solusi yang dibutuhkan untuk warga yang selama ini bermukim di pinggiran waduk dan sungai pun telah disiapkan, bernama rumah susun. Harapannya, anggaran Jakarta tak hanya habis menangani banjir yang selalu terjadi tiap tahun atau untuk bantuan pada korban banjir.
Bila daerah resapan dan aliran air dibenahi kembali, dana yang selama ini diserap untuk banjir akan lebih bermanfaat ketika dapat dipakai untuk meningkatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan. Tanpa ada daerah resapan yang memadai dan aliran air yang lancar, apa pun proyek banjir yang dikerjakan tak akan pernah menjadi solusi optimal.
Tentu, tidak pernah ada yang benar-benar mewujud ideal. Namun kesadaran itu tak boleh menjadi legitimasi untuk merusak tatanan. Tidak ada yang sempurna dan itulah alasan kenapa selalu ada bagian orang lain dalam rezeki setiap orang, yang paling halal sekalipun.
Sekarang saatnya bercermin bersama, jangan-jangan rezeki yang selama ini dianggap halal ternyata berasal dari "kesusahan" orang lain. Jangan-jangan setiap pecahan uang bergambar Soekarno dalam genggaman adalah hasil dari terbuangnya lebih banyak lembaran yang sama karena hal-hal mendasar yang diletakkan tak pada tempatnya dan tak sesuai takdirnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.