Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 16/08/2013, 08:27 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Ahok Center menuai kontroversi. Keberadaannya sebagai mitra Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyaluran corporate social responsibility (CSR) di rumah susun Marunda, Jakarta Utara, dinilai membantu. Namun, di sisi lain, dianggap bom waktu dan bisa menghancurkan empunya.

Kontroversi tersebut bermula saat wartawan mendapat sebundel kertas pers realease dari Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Jakarta, Rabu, 14 Agustus 2013 lalu. Kertas itu berisi daftar perusahaan penyalur CSR di empat dinas, yakni Dinas Perumahan dan Bangunan, Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah dan Perdagangan, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Pertamanan dan Pemakaman.

Di lembar daftar perusahaan penyalur CSR di Dinas Perumahan dan Bangunan ke rumah susun Marunda, tertera jelas bahwa mitra kerja penyaluran adalah Ahok Center. Faisal Basri, pengamat ekonomi sekaligus mantan rivalnya di Pemilukada DKI 2012 lalu mempertanyakan keberadaan Ahok Center yang dianggapnya rentan kepentingan politik.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama langsung membantah. "Ahok Center enggak ada rekening bank dan tidak pernah terima duit. Itu hanya relawan yang mau bantu mengawasi siapa (penghuni) yang jual," ujarnya di Balaikota, Kamis (15/8/2013).

Usut punya usut, Ahok Center adalah nama beken dari sebuah LSM yang didirikan Ahok tahun 2007 lalu, yakni Center for Democracy and Transparancy atau CDT. Isinya, ya semua relawan pemenangan Ahok saat Pemilukada 2012. Mereka diketahui bermarkas di salah satu kantor di Jalan Juanda, Jakarta Pusat.

Bunyamin Permana, salah satu relawannya menjelaskan, mitra kerja yang dimaksud bukan sebagai penyalur CSR. Tapi, mengawasi barang-barang hasil CSR agar tak disalahgunakan warga, misalnya diperjualbelikan dan lainnya.

"Jadi kita hanya membantu. Kita ditugaskan Pak Ahok, yang awalnya menjadi relawan. Tapi akhirnya ya membantu masyarakat," ujarnya.

Natanael Oppusunggu, koordinator dan penanggungjawab CDT mengatakan, aktivitas mereka dibiayai kocek pribadi sang wagub, yakni sebesar Rp 30 juta per bulannya. Sebanyak tujuh orang anggotanya digaji sesuai dengan UMP, yakni Rp 2,2 juta per bulannya.

BPKD Klarifikasi

Kamis sore, Kepala BPKD Endang Wijayanti mengaku dipanggil Ahok terkait informasi tersebut. Endang menampik menjadi sasaran kemarahan sang Wagub karena menuliskan Ahok Center sebagai mitra kerja dalam penyaluran CSR. Endang juga sekaligus hendak mengklarifikasi informasi itu kepada media.

"Saya sudah telefon Pak Kian (Kian Kelana, Kepala Dinas Sosial DKI, dinas yang bertugas mencatatkan barang-barang hasil CSR di rusun Marunda) sudah konfirmasi tidak ada Ahok Center dalam penyaluran CSR," ujarnya.

Lantas, mengapa di laporan daftar perusahaan yang memberikan CSR dari Suku Dinas Sosial DKI kepada BPKD DKI, Ahok Center tertera sebagai mitra kerja? Ia pun tak mengetahuinya. Menurutnya, data bundelan kertas itu adalah data 'gelondongan' dari Dinas Sosial yang bisa saja terdapat kesalahan dan perlu verifikasi.

Kepala Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, Ika Lestari Aji juga menampik keberadaan Ahok Center dalam penyaluran CSR. Menurutnya, hanya ada beberapa orang yang dikenalnya sebagai orang suruhan Ahok. Tak hanya orang suruhan Ahok, orang suruhan gubernur pun berada di sana membantu pengawasannya.

"Kan kasihan kalau Pak Ajok yang dibilang, kesannya Pak Ahok saja. Padahal orang-orangnya Pak Jokowi juga ada," ujarnya.

Pisau Bermata Dua

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo menilai, ada dua sisi efek keberadaan Ahok Center yang notabene 'underground' dalam membantu menjalankan roda pemerintahan Jakarta Baru tersebut. Di satu sisi sebagai 'intelejen' sang wagub dalam melihat kondisi ril di lapangan, dianggap sangat membantu Ahok.

"Kalau cuma nyatat-nyatat, enggak apa-apa. Dari awal mereka boleh saja jadi tim risetnya Ahok, beri data riil lapangan. Tim independen itu sama sekali ndak masalah," ujar Agus.

Namun di sisi lain, keberadaan Ahok Center rentan penyalahgunaan wewenang. Terlebih, Ahok Center merupakan produk politik Ahok. "Bisa juga Ahok Center memperlemah posisi Ahok. Bisa dipolitisir, dijebak melalui mereka. Apalagi bersentuhan dengan dana," tuturnya.

Ada baiknya, kata Agus, Ahok mengubah kesan politis di dalam nama Ahok Center ke kesan profesional. Misalnya, menamakan pusat studi atau tim riset dan lainnya. Ia juga menyarankan jangan hanya ada satu tim seperti itu. Harus ada tim yang disebar di berbagai bidang, sosial, ekonomi dan lainnya,  agar kesan politis hilang.

"Kalau kondisinya seperti Ahok Center saat ini, rentan menjadi bumerang. Sebagai yang turut mendukung, jangan pakai nama itu, reputasi saya khawatirkan akan jadi buruk," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Dinas SDA DKI Sebut Proyek Polder di Tanjung Barat Akan Selesai pada Mei 2024

Dinas SDA DKI Sebut Proyek Polder di Tanjung Barat Akan Selesai pada Mei 2024

Megapolitan
Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Ketua DPRD Sebut Masih Ada Kawasan Kumuh Dekat Istana, Pemprov DKI: Lihat Saja di Google...

Megapolitan
Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Mobil Rubicon Mario Dandy Dilelang Mulai dari Rp 809 Juta, Kajari Jaksel: Kondisinya Masih Cukup Baik

Megapolitan
Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Sindikat Pencuri di Tambora Berniat Buka Usaha Rental Motor

Megapolitan
PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

PDI-P DKI Mulai Jaring Nama Bacagub DKI, Kader Internal Jadi Prioritas

Megapolitan
PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

PDI-P Umumkan Nama Bacagub DKI yang Diusung pada Mei 2024

Megapolitan
Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan 'Pelanggannya' dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Keluarga Tak Tahu RR Tewas di Tangan "Pelanggannya" dan Dibuang ke Sungai di Bekasi

Megapolitan
KPU Jaktim Buka Pendaftaran PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

KPU Jaktim Buka Pendaftaran PPK dan PPS untuk Pilkada 2024, Ini Syarat dan Jadwal Seleksinya

Megapolitan
NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

NIK-nya Terancam Dinonaktifkan, 200-an Warga di Kelurahan Pasar Manggis Melapor

Megapolitan
Pembunuh Wanita 'Open BO' di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Pembunuh Wanita "Open BO" di Pulau Pari Dikenal Sopan oleh Warga

Megapolitan
Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Pengamat: Tak Ada Perkembangan yang Fenomenal Selama PKS Berkuasa Belasan Tahun di Depok

Megapolitan
“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

“Liquid” Ganja yang Dipakai Chandrika Chika Cs Disebut Modus Baru Konsumsi Narkoba

Megapolitan
Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Chandrika Chika Cs Jalani Asesmen Selama 3,5 Jam di BNN Jaksel

Megapolitan
DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

DPRD dan Pemprov DKI Rapat Soal Anggaran di Puncak, Prasetyo: Kalau di Jakarta Sering Ilang-ilangan

Megapolitan
PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

PDI-P Mulai Jaring Nama Buat Cagub DKI, Kriterianya Telah Ditetapkan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com