JAKARTA, KOMPAS.com
Kawasan RW 001 Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, yang lebih populer sebagai Kampung Apung, akan dikeringkan pada September mendatang. Hal itu dilakukan sesuai dengan permintaan warga.

"Pemprov akan mengeringkan kawasan permukiman ini sesuai harapan warga. Mosok namanya sudah diubah kembali ke nama lama, Kampung Teko, tetapi masih seperti Kampung Apung?" kata Wali Kota Jakarta Barat Fatahillah, Selasa (27/8/2013).

Sesepuh Kampung Apung, Djuhri, saat dihubungi terpisah, menyambut baik rencana tersebut. "Itu artinya biaya beternak lele yang dilakukan mayoritas warga Kampung Apung bakal semakin ringan," ucap mantan Ketua RW 001 tersebut.

Ia menjelaskan, saat ini ada lebih dari 100 kolam lele seluas sekitar 1.500 meter persegi yang dimiliki 12 peternak lele. Jika Kampung Apung dikeringkan, para peternak lele tidak lagi membutuhkan drum-drum plastik pelampung yang harga per drum sudah hampir Rp 200.000.

"Kalau jadi dikeringkan, mereka tidak perlu lagi membeli drum-drum pelampung yang baru, sedangkan drum pelampung yang lama bisa dimanfaatkan untuk hal lain atau dijual," tutur Djuhri.

Salah satu peternak lele, Usman, pun mengaku senang. "Kami pasti bersemangat memperluas kolam-kolam lele. Pasar lele tempat warga memasok masih membutuhkan 300 kilogram lele per hari. Yang bisa kami penuhi saat ini baru 30 kilogram lele setiap hari," ujar Usman.

Selain itu, jika Kampung Apung dikeringkan, kata Djuhri, warga tidak lagi membutuhkan jembatan-jembatan darurat yang menghubungkan rumah yang satu dan rumah lain, atau antara tempat yang satu dan tempat yang lain.

Pengurukan

Meski demikian, Djuhri mengingatkan agar tindakan pengeringan Kampung Apung diikuti dengan pengurukan kawasan ini. Sebab, jika hanya airnya yang disedot hingga kering, tetapi permukaan kawasan ini tetap dibiarkan lebih rendah daripada lingkungan sekitarnya, saat turun hujan deras, kawasan ini akan kembali tergenang. Usaha Pemprov akan menjadi sia-sia.

Sebelum tahun 1990, permukaan tanah di kawasan seluas 6 hektar ini yang tertinggi dibandingkan dengan lokasi di sekitarnya yang sebagian masih berupa bentangan sawah. Tak heran saat banjir datang, Kampung Apung menjadi penampungan pengungsi.

Karena tak tahan lagi setiap tahun harus mengungsi ke Kampung Apung, para pengungsi menjual tanah dan rumahnya kepada para pengusaha dengan harga murah.

Para pengusaha lalu menguruk tanah di kawasan yang banjir itu hingga permukaannya jauh lebih tinggi daripada permukaan tanah di Kampung Apung.

Di atas tanah tersebut didirikan gudang-gudang dan jadilah kawasan ini menjadi kawasan industri baru. Saluran-saluran air pembuangan pun dibangun dengan tinggi dasar saluran melebihi permukaan tanah Kampung Apung.

Hasilnya, seluruh air kotor dari saluran yang berasal dari kawasan industri mengalir ke Kampung Apung. Air kotor itu juga membawa sampah ke sana. Karena kini permukaan tanah di Kampung Apung lebih rendah daripada lokasi di sekitarnya, ketika hujan datang, Kampung Apung banjir.

Tahun demi tahun, banjir yang semakin tinggi membawa sampah yang semakin banyak pula. Kampung Apung pun menjadi rawa tempat pembuangan sampah. Lalat, nyamuk, dan ular suka bersarang di sana.

"Rumah yang tinggal kelihatan atapnya itu dulu rumah kos-kosan orangtua saya," kata Usman, salah satu penghuni Kampung Apung.

Nasib serupa terjadi pada rumah kos orangtua Djuhri yang memiliki 15 kamar, kini tenggelam bersama 3.810 makam. Sebagian warga yang ingin tetap bertahan di sana terpaksa menaikkan bangunan hingga dua sampai tiga kali tinggi bangunan lama. Mereka yang kurang mampu membuat rumah berkaki tong tertutup. Dengan demikian, saat banjir datang, bangunan di atas tong-tong itu ikut naik. (WIN)