JAKARTA, KOMPAS —
Sejumlah perajin tahu dan tempe di Jakarta belum berproduksi secara penuh setelah mogok produksi tiga hari. Sebelum produksi kembali optimal, perajin masih melihat daya serap pasar setelah kenaikan harga tahu dan tempe.

Momo, perajin tahu di Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur, mengatakan, produksinya kini masih 50 persen. ”Biasanya, saya habiskan 200 kilogram (kg) kedelai. Sekarang hanya 100 kg. Karyawan saya juga berkurang, dari enam orang menjadi empat orang,” ujarnya, Jumat (13/9/2013).

Dia menyatakan masih mengamati daya beli konsumen setelah kenaikan harga tahu. Tahu produksinya kini dijual dengan harga Rp 135.000 per 10 kg, dari harga lama Rp 120.000.

”Kalau harga kedelai mahal, saya tidak berani produksi banyak karena khawatir tidak habis. Ruginya besar sekali karena beli kedelainya mahal, untungnya tipis,” katanya.

Harga kedelai di pengecer dan pasar umum di Jakarta masih Rp 9.300-Rp 9.500 per kg. Stok mencukupi, tetapi harganya tinggi. Harga kedelai ini jauh di atas harga acuan pemerintah untuk produsen tempe dan tahu sebesar Rp 8.490 per kg.

Harga kedelai yang tinggi juga memaksa Tholib, produsen tempe di kawasan Buaran, Jakarta Timur, mengurangi produksi hingga 50 persen. Kini Tholib hanya memproduksi 50 kg dari biasanya 1 kuintal kedelai per hari. Dampaknya pada harga jual produk jadinya.

”Kalau masyarakat masih bisa menerima kenaikan harga tempe, pelan-pelan produksi akan saya tambah,” ujar Tholib.

Tempe produksinya dijual dengan harga Rp 10.000 per kg, naik dari harga lama Rp 8.000 per kg.

Importir terbatas

Suyanto, Sekretaris Jenderal Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo), mengatakan, keterbatasan importir yang bersedia menyediakan kedelai dengan harga jual berdasarkan harga acuan yang ditetapkan pemerintah membuat harga di pasaran masih tetap tinggi.

”Saat ini, baru lima importir yang menyediakan kedelai dengan harga lebih murah. Idealnya 22 importir lain ikut mengadakan kedelai dengan harga kesepakatan ini,” kata Suyanto.

Dari kuota 11.900 ton kedelai murah yang disediakan untuk seluruh Indonesia, alokasi untuk produsen anggota Kopti Provinsi DKI selama September 2013 hanya 2.000 ton.

”Jumlah ini masih jauh dari kebutuhan perajin di Jakarta yang mencapai 132.000 ton per bulan atau 66.000 ton untuk setengah bulan. Hal serupa terjadi di kota lain,” katanya.

Harga acuan penjualan pemerintah Rp 8.490 per kg masih lebih mahal dibandingkan dengan harga kedelai acuan perajin Rp 7.700 per kg sesuai dengan ketentuan pemerintah sebelumnya. Harga Rp 8.490 per kg itu pun masih harus ditambah ongkos angkut dari gudang ke perajin di Jakarta, yaitu Rp 200 per kg.

Penyediaan kedelai dengan harga terjangkau ini baru dipastikan untuk bulan September.

”Kami akan mengevaluasi penyediaan kedelai ini pada Oktober, terutama untuk harga dan kuotanya,” kata Suyanto.

Produsen ataupun perajin tidak punya pilihan lain membeli kedelai impor meskipun harganya tinggi. Hal itu karena, menurut Suyanto, tidak ada kedelai lokal di pasaran sehingga perajin bergantung sepenuhnya pada kedelai impor.

Seusai berkunjung ke beberapa perajin tahu di Utan Kayu, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Sjarifuddin Hasan menyatakan, pihaknya terus melobi importir agar menyediakan lebih banyak kedelai sesuai dengan harga acuan Rp 8.490 per kg.

Sebagian koperasi tempe dan tahu telah menyediakan kedelai dengan harga itu, tetapi jumlahnya belum sebanding dengan kebutuhan.

”Ada beberapa importir yang setuju dengan harga Rp 8.490 per kg. Mereka selama ini sudah untung, sekarang saatnya menjual dengan harga lebih rendah,” kata Sjarifuddin Hasan. (ART/MKN)