JAKARTA, KOMPAS.com
 — Proyek pemerintah kembali menyita perhatian publik ketika Gelanggang Remaja Koja, Jakarta Utara, roboh pada Kamis lalu. Ambruknya proyek senilai Rp 22,021 miliar ini melukai tujuh pekerjanya. Tidak hanya itu, proyek yang dimulai 3 Juli lalu tersebut juga terancam tidak bisa diselesaikan tahun ini sesuai target awal.

Kerugian tidak hanya dialami pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja itu, tetapi juga dialami publik karena pembangunannya tak sesuai target. Sesungguhnya, buruknya kualitas proyek pemerintah tidak hanya terjadi di Koja, tetapi juga di banyak tempat di negeri ini.

Sekadar mengingatkan, kasus serupa pada 5 Juni 2012, Sekolah Dasar Negeri (SDN) 20 Cipinang, Jakarta Timur, ambruk setelah beberapa bulan direnovasi. Begitu pun dengan proyek perbaikan jalan yang hampir setiap tahun dilakukan di sejumlah ruas di Jakarta.

Mengapa proyek pemerintah kita tidak bisa awet hingga puluhan atau ratusan tahun?

Di balik ambruknya Gelanggang Remaja Koja menyimpan sejumlah ironi. Proyek tersebut ternyata belum memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Kontraktor proyek dinilai nekat memulai pembangunan, sementara izin belum selesai diproses. Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Provinsi DKI Jakarta belum dapat menerbitkan IMB karena pengajuan terlambat.

Seharusnya, kenyataan ini bisa dihindari. Sebab, Dinas P2B memberikan perlakuan khusus pada perizinan proyek yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ataupun APBN. "Tetapi, karena berkasnya terlambat masuk, pelayanan menjadi lama," kata Kepala Dinas P2B Provinsi DKI Jakarta Putu Indiana.

Kondisi serupa barangkali terjadi pada proyek pemerintah lainnya. Sebab, kuasa pengguna anggaran dan kontraktor berkejaran dengan tenggat penggunaan anggaran pada akhir tahun. Jika tidak tepat waktu, itu akan menjadi sisa lebih penggunaan anggaran atau dikenal dengan silpa.

Tahun lalu, silpa APBD DKI tahun 2012 sebesar Rp 8 triliun. Nilai ini lebih besar daripada
silpa tahun 2011 yang sebesar Rp 6,4 triliun. Besar kecilnya silpa menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Namun, apakah harus terburu-buru mengerjakan proyek demi memperkecil silpa?

Pembangunan Gelanggang Remaja Koja dimulai pertengahan tahun, lima bulan setelah APBD DKI diketok, 28 Januari 2013. Betapa panjangnya waktu yang dihabiskan sebelum proyek dikerjakan. Seandainya pada tahun sebelumnya sudah disiapkan desain dengan melibatkan konsultan, proyek bisa dimulai awal tahun.

"Saya menduga perencanaan dan penganggaran proyek ini berjalan bersamaan. Jadi, perlu waktu agak lama sebelum proyek dikerjakan," kata Putu.

Kepala Dinas Olahraga dan Pemuda Provinsi DKI Jakarta Ratiyono mengatakan, proyek baru bisa dikerjakan pertengahan tahun karena harus menyelesaikan tahap prakonstruksi. Sementara proyek single year itu harus selesai sebelum 14 Desember 2013.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Sanusi, menduga proyek sengaja dikerjakan pertengahan tahun agar bisa dikebut sehingga pengawasan longgar. "Jika benar begitu, terbuka kemungkinan untuk memainkan anggaran. Sementara konstruksi itu ada umurnya. Agar kokoh, tahapan pembangunan tak bisa sembarangan," ungkapnya.

Model pengerjaan proyek seperti ini sudah lama terjadi. Kuasa pengguna anggaran sering berdalih pada proses pengesahan anggaran yang terlambat. Namun, apakah dalih ini bisa jadi alasan? (NDY)