JAKARTA, KOMPAS.com
- Hujan deras mengguyur kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (29/10). Sebagian pengguna jalan menyesaki halte untuk berteduh. Di beberapa lokasi di Ciputat, berjarak kurang dari 8 kilometer, pengguna jalan melenggang tanpa rintik gerimis.

Fenomena hampir sama di tempat berbeda di seluruh Indonesia barangkali menjadi hal jamak, ketika hujan dan cuaca terang terjadi bersamaan dalam radius kurang dari 5 kilometer.

Bagaimana bisa terjadi? Menurut Mulyono R Prabowo, Kepala Bidang Informasi Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kondisi hujan dan kering dalam satu wilayah semacam itu merupakan fenomena cuaca yang biasa di Indonesia.

"Ada beberapa faktor, di antaranya kondisi lingkungan mikro," katanya. Tentunya, juga karena faktor angin yang membawa massa air bakal hujan.

Di atas kawasan dengan tutupan atau vegetasi pohon yang relatif masih baik memiliki uap air yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan padat bangunan gedung. Kawasan Kebayoran Lama terbilang kawasan hijau, sedangkan kawasan Kuningan yang merupakan kawasan niaga, padat perkantoran dengan banyak bangunan bertingkat.

"Angin dengan massa air yang melewati kawasan hijau cenderung menjadi hujan daripada ketika melintasi kawasan padat bangunan. Tidak harus selalu jadi hujan, tapi kecenderungannya begitu," katanya.

Adanya pengaruh kondisi permukaan tanah (topografi) yang lebih hijau itulah yang menjelaskan, dalam konteks di ibu kota Jakarta, kenapa kawasan Ragunan, Lenteng Agung, dan Pasar Minggu menjadi zona basah. Artinya, memiliki curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lain di Jakarta.

Dengan pemahaman yang hampir sama, bisa terjelaskan kenapa daerah dataran tinggi atau perbukitan seperti Bogor memiliki curah hujan tinggi.

"Udara lebih lembab, hujan pun lebih sering turun dibandingkan dengan kawasan perkotaan," kata Kepala Bidang Peringatan Dini Cuaca Ekstrem BMKG Achmad Zakir.

Secara nasional, topografi dan kondisi geografis yang beragam di Tanah Air, dua pertiga wilayah merupakan lautan dengan seratusan gunung api berikut lembah dan perbukitan, membuat upaya memperkirakan kondisi cuaca ataupun musim secara akurat menjadi persoalan tersendiri. Apalagi, tidak didukung peralatan canggih, seperti radar berteknologi tinggi, yang memadai.

Zona musim

Sejak pekan pertama Oktober 2013, sebagian besar wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan sebagian Sumatera Selatan sudah memasuki musim hujan. Bahkan, hujan deras beberapa hari pada minggu ketiga Oktober menimbulkan banjir yang menyebabkan puluhan ribu orang mengungsi, ribuan hektar sawah terendam, dan ribuan rumah terendam di Sumatera. Banjir di antaranya terjadi di Banda Aceh, Medan, Langkat, Padang, dan Pekanbaru.

Sebelumnya, puluhan rumah di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, awal Oktober 2013 tersapu banjir bandang akibat hujan deras (Kompas, 4/10).

Musim hujan di Indonesia tahun ini diawali dari kawasan Sumatera bagian utara lalu bergerak ke Sumatera bagian barat ke selatan. Secara perlahan, bergerak menuju wilayah timur Indonesia.

Hampir tidak mungkin memperkirakan cuaca selalu akurat di semua wilayah karena berbagai faktor topografis dan geografis seperti disebutkan di atas. BMKG membagi Indonesia ke dalam 342 zona musim (ZOM). Zona musim menunjuk pada daerah-daerah dengan batas musim yang jelas, antara musim hujan dan kemarau.