Ketiadaan integrasi antarmoda angkutan umum dan antardaerah di wilayah Jabodetabek juga menunjukkan selama ini pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah tidak bekerja semestinya.
Kemacetan parah di Jakarta selama tiga hari terakhir sejak pemberlakuan sterilisasi jalur bus transjakarta disertai ancaman denda besar turut membuka mata. Pencanangan 17 langkah kemacetan pada tahun 2010 dan ditargetkan tercapai pada 2014 belum berjalan. Dari 17 langkah itu, tujuh poin menjadi tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI, selebihnya wewenang pemerintah pusat.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi yang juga pengajar pada Program Studi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, mengatakan, masalah kemacetan di perkotaan, termasuk di Jabodetabek, tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat yang menyesatkan dan menyusahkan. Contoh konkret adalah kebijakan pemerintah yang berpihak pada kendaraan pribadi.
”Seperti kebijakan pengadaan mobil yang dikatakan berharga murah, tetapi di sisi lain uang negara dihamburkan untuk subsidi bahan bakar minyak yang sebanyak 93 persen, atau sebesar Rp 175 triliun, tersedot oleh kendaraan pribadi,” katanya.
Berdasarkan penelitiannya, Djoko menyebutkan, selama ini angkutan umum hanya menyerap sekitar 3 persen dari total BBM bersubsidi yang disediakan pemerintah.
Tidak pantas
Untuk itu, bagi Djoko, tidak sepantasnya pemerintah pusat menekan DKI untuk memecahkan kemacetan sendiri. Sterilisasi jalur bus transjakarta hanyalah salah satu dari sekian rincian program yang diturunkan dari kebijakan 17 langkah mengatasi kemacetan yang tiga tahun silam dicanangkan Wakil Presiden Boediono.
Pendapat serupa beberapa kali dilontarkan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono. Dari 17 langkah penanganan persoalan transportasi, Dishub DKI Jakarta menanggung beban tugas pada tujuh poin. Beberapa poin penanganan masalah transportasi yang sudah dilakukan Dishub DKI Jakarta di antaranya sterilisasi jalur bus transjakarta, kebijakan ulang perparkiran, dan pembangunan lahan parkir di sekitar stasiun agar pengguna kendaraan pribadi beralih ke angkutan publik.
Dari semua poin itu, satu di antaranya, yaitu restrukturisasi angkutan umum armada kecil agar beralih ke armada besar, belum dapat dilakukan. Sebab, restrukturisasi ini perlu payung hukum dari pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Belum lagi jika berbicara integrasi angkutan umum antarkota yang tentu tidak bisa diupayakan sendiri oleh DKI Jakarta.
Diterapkan pekan depan
Di tengah situasi lalu lintas seperti saat ini, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menegaskan, kemungkinan sanksi diterapkan mulai pekan depan. ”Kami ingin mendorong pengguna kendaraan pribadi pindah ke angkutan umum. Maka, kami ingin dorong sisi kiri (jalur bus transjakarta) ini kosong,” katanya di Balaikota.
Jika satu kendaraan saja dibiarkan masuk, jalur bus transjakarta akan kembali mampat. Uji coba ini untuk membuktikan sejauh mana kenyamanan didapat pengguna bus transjakarta. Jika angkutan umum tidak nyaman, lanjut Basuki, orang tetap akan memilih macet di dalam mobil pribadi.
Meskipun demikian, Basuki mengakui, armada bus transjakarta dan bus sedang harus ditambah sehingga jalur tidak terlihat sangat kosong. Namun, pengadaan armada baru tidak bisa dilakukan secepat yang diinginkan karena kendala prosedur pengadaan dan lelang.
”Sekarang memang suasana bakal tidak nyaman bagi pengguna jalan. Kami sedang upayakan bus yang nyaman supaya orang mau pindah ke angkutan umum. Masyarakat sudah mampu membayar Rp 6.000. Mereka bisa naik kopaja AC, bayar Rp 6.000, lalu naik bus transjakarta gratis,” kata Basuki.
Untuk itu, kata dia, komponen transportasi dalam angka kebutuhan hidup layak sudah dihitung Rp 12.000 untuk ongkos pergi dan pulang. Setelah jalur bus transjakarta steril, Pemprov DKI berencana meluncurkan bus tingkat gratis di koridor utama. Dengan demikian, para pekerja di jalur itu bisa naik bus gratis.