Untunglah, di tengah arus hidup individualistis, sekelompok orang terpanggil untuk menyapu ranjau tersebut. Mereka adalah warga yang bekerja sukarela mengumpulkan paku yang diduga ditebar oleh kelompok tertentu dengan tujuan meraup keuntungan. Mereka tergabung dalam Sapu Bersih Ranjau (Saber) dan Semut Orange Community (SOC).

Saber, misalnya, dua tahun terakhir rata-rata mengumpulkan 2,74 kilogram paku per hari. Adapun SOC telah mengumpulkan 650 kilogram paku sejak Juni 2012.

Anehnya, umumnya paku yang ditebar di jalanan itu dikumpulkan dari ruas jalan yang sama, termasuk di sekitar kawasan Istana Negara. Ruas paling rawan adalah Jalan Veteran, Merdeka Utara, Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Harmoni, Jalan Hasyim Ashari, Roxy, dan Cideng. Ruas lain yang juga rawan tebaran ranjau paku adalah Jalan Gatot Subroto dan persimpangan Semanggi, Galur, hingga terowongan Senen.

Paku beragam bentuk dan ukuran panjang 2 cm hingga 5 cm itu diduga ditebar pada pagi atau sore hari. Biasanya paku ukuran kecil ditebar lebih kurang 700 meter dari lokasi tambal ban. Semakin dekat, panjang paku yang ditebar semakin panjang.

”Supaya anginnya segera habis,” kata Abdul Rohim, anggota Komunitas Saber.

Ketua Semut Orange Community Johan P Tuilan, Senin (6/1/2014), mengatakan, pengendara tidak hanya dirugikan karena ban bocor, tetapi juga berakibat kecelakaan lalu lintas.

Menurut Abdul Rohim, jika terkena roda depan, sepeda motor bisa oleng dan menyebabkan pengendara terjatuh. ”Kalau di belakang ada kendaraan lain, tentu sangat fatal,” kata Abdul.

Pada 27 Desember 2013, para relawan itu memergoki Ali Usman atau Bejo yang diduga menjadi penebar paku. Pria itu ditangkap tak jauh dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat.

Berdasarkan keterangan yang dihimpun, Bejo adalah otak ranjau paku di kawasan Roxy. Dia memiliki tiga lapak tambal ban di kawasan itu. ”Sekarang Jalan Hasyim Ashari relatif aman dari ranjau meski belum steril,” ujarnya.

Rata-rata setiap hari ada 50 sepeda motor terkena jebakan itu. Korban pun kerap terpaksa merogoh kocek hingga Rp 50.000 untuk mengganti roda dalam yang robek. Menurut Abdul Rohim, hal itu sangat menguntungkan tukang tambal ban yang hanya mengeluarkan Rp 10.000 untuk modal ban dalam.

Sosiolog Universitas Airlangga, Surabaya, Bagong Suyanto, berpendapat, umumnya alasan bertahan hidup menjadi motivasi para pelaku penebaran paku itu. Mereka merupakan irisan dari komunitas urban yang tidak mampu menaikkan mobilitas, sementara persaingan dan biaya hidup di Ibu Kota kian tinggi.

Menurut Bagong Suyanto, persoalan itu pertama-tama belum dapat dilihat sebagai persoalan hukum atau moralitas, tetapi persoalan sosial. Pada satu sisi, mereka dapat didudukkan sebagai tersangka, tetapi pada sisi lain mereka adalah kelompok yang tidak mampu berhadapan dengan situasi sosial perkotaan.

Langkah polisi

Terkait hal ini, Kepolisian Daerah Metro Jaya mendesak Pemprov DKI Jakarta menertibkan para tukang tambal ban yang membuka lapak di tepi jalan.

”Keberadaan tukang tambal ini patut diduga ada kaitan dengan ranjau paku. Pemda, terutama wali kota, sebaiknya meninjau keberadaan tukang tambal ban yang melanggar peraturan daerah karena menempati trotoar sebagai lapak,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto.