Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jakarta Banjir, Jokowi Hilang

Kompas.com - 24/01/2014, 01:11 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Joni pun menuturkan tentang kabar dari sebuah situs online yang mengutip hasil survei Alvara Research Center yang merilis hasil survei tentang popularitas dan elektabilitas calon presiden yang diselenggarakan akhir tahun lalu, tepatnya 28 Oktober 2013. Hasilnya, Aburizal Bakrie disebut lebih populer dibanding Joko Widodo. Golkar menyebut hal itu wajar.

"Ya populer karena setiap hari kita melakukan serangan udara (iklan) yang masif yang menyebabkan populer dan sangat masuk akal. Kalau enggak populer itu juga kelewatan," kata Wasekjen Partai Golkar Nurul Arifin seusai berdiskusi di Fx Sudirman, Jakpus, kala itu.

Berikut adalah urutan capres paling populer versi Alvara Research Center:

1. Ical: 78,4 persen
2. Jokowi: 76,0 persen
3. Prabowo: 66,3 persen
4. Wiranto: 62,5 persen
5. Megawati: 62,4 persen
6. Jusuf Kalla: 52,4 persen
7. Dahlan Iskan: 36,3 persen
8. Surya Paloh: 32,7 persen
9. Hatta Rajasa: 28,9 persen
10. Mahfud MD: 24,1 persen
11. Rhoma Irama: 20,8 persen
12. Marzuki Alie: 10,6 persen
13. Lainnya: 49,3 persen

"Hmm... Mujarab bener ya yang namanya media. Tiap hari pemirsa diberondong sama iklan si bos partai, lama-lama terkenal juga tuh si bos," Banu ngedumel.
"Gratis pula."

"Kok gratis?"

"Lah, TV milik sendiri, he-he-he..."

"Tapi itu kan melanggar undang-undang penyiaran," kata Banu.
"Sok tahu lu."

"Ah elo, makanya baca dong berita," ucap Banu seraya menyitir sebuah berita yang menuliskan bahwa organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa yang tergabung dalam Frekuensi Milik Publik (FMP) telah mengeluarkan petisi yang sudah ditandatangani secara online oleh lebih dari 3.500 orang melalui www.change.org. Petisi ini menuntut KPI agar berani menindak stasiun televisi yang menyalahgunakan frekuensi publik untuk kepentingan politik pemiliknya.

Juru bicara FMP, Roy Thaniago, mengatakan, aksi itu dilatarbelakangi sikap KPI yang absen dalam membela kepentingan publik. Padahal, penyalahgunaan frekuensi yang kian marak terjadi di televisi dalam bentuk iklan, berita, atau program hiburan, baik secara terang-terangan maupun terselubung.

Roy mencontohkan, Aburizal Bakrie dan Partai Golkar di TV One dan ANTV; Surya Paloh dan Partai Nasdem di Metro TV; serta Wiranto dan Hary Tanoe dari Partai Hanura di RCTI, MNC TV, dan Global TV. Bahkan TVRI yang notabene merupakan TV publik juga pernah menjadi etalase beberapa partai politik, seperti Demokrat, PAN, dan Golkar, tutur Roy Thaniago dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Rabu (15/1/2014).

FMP berpendapat, sikap KPI yang bergeming terhadap penyalahgunaan frekuensi televisi itu menjadi ancaman utama bagi keberlanjutan demokrasi di Indonesia. Pasalnya, publik hanya akan mendapatkan informasi yang berat sebelah. Menurut Roy, media yang tidak independen sebenarnya tidak hanya merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak akal sehat dalam kehidupan negara demokrasi. Alih-alih mendewasakan pendidikan politik warga, stasiun televisi macam demikian justru menjadi mesin penghancur kewarasan logika publik, ujarnya.

Ia mengakui, KPI pernah menindak stasiun televisi yang dieksploitasi oleh pemiliknya beberapa kali. Namun, tindakannya hanya berupa teguran lisan, undangan klarifikasi, dan hal lainnya yang lebih menyerupai basa-basi. Padahal, keresahan publik butuh diredam dengan sikap KPI yang lebih tegas dan berani menindak para perampas hak publik.

Ia mengungkapkan, KPI bisa menggunakan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 dan Pedoman Perilaku Penyiaran-Standar Program Siaran (P3SPS) yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran yang menggunakan frekuensi publik tidak boleh digunakan untuk kepentingan sektarian. Juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai aturan kampanye yang hanya dibolehkan pada 21 hari sebelum masa tenang dan pembatasan jumlah iklan kampanye politik per hari.

Seusai banjir Jakarta

Sudah lebih dari dua pekan banjir "menggerus" Jakarta dan sekitarnya serta wilayah lainnya di negeri ini. Barangkali lantaran telah dekat dengan pemilu pada April mendatang sehingga banjir dijadikan ajang politik orang-orang atau partai tertentu. Ada yang menjadikan banjir untuk mengangkat nama dengan kemasan sumbangan kepada para korban banjir, atau juga sebagai alat untuk menohok lawan politik.

Moga-moga banjir segera berhenti, dan semua orang bisa segera beraktivitas dengan normal kembali. Moga-moga banjir kali ini bukanlah bagian dari kisah mitologi tentang banjir besar yang dikirimkan oleh Tuhan untuk menghancurkan suatu peradaban sebagai pembalasan agung untuk membersihkan angkara murka dengan air bah.

Tetapi setidaknya, lewat banjir ini kita jadi lebih ingat tentang bagaimana hidup yang baik, hidup yang saling menghargai, saling menghormati, dan saling mengingatkan untuk menjaga dan memelihara sungai-sungai kita mengalir dengan baik, serta dijauhkan dari ketamakan agar tak lagi membabati hutan-hutan di hulu untuk dijadikan ajang bermegah-megah.

@Jodhi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Terbukti Konsumsi Ganja, Chandrika Chika Cs Terancam Empat Tahun Penjara

Terbukti Konsumsi Ganja, Chandrika Chika Cs Terancam Empat Tahun Penjara

Megapolitan
Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Rabu 24 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Prakiraan Cuaca Jakarta Hari Ini Rabu 24 April 2024, dan Besok: Siang ini Hujan Ringan

Megapolitan
Selebgram Chandrika Chika Konsumsi Narkoba Satu Tahun Lebih

Selebgram Chandrika Chika Konsumsi Narkoba Satu Tahun Lebih

Megapolitan
Meski TikTokers Galihloss Minta Maaf Usai Video Penistaan Agama, Proses Hukum Tetap Berlanjut

Meski TikTokers Galihloss Minta Maaf Usai Video Penistaan Agama, Proses Hukum Tetap Berlanjut

Megapolitan
Alasan Chandrika Chika Cs Konsumsi Narkoba: Bukan Doping, untuk Pergaulan

Alasan Chandrika Chika Cs Konsumsi Narkoba: Bukan Doping, untuk Pergaulan

Megapolitan
[POPULER JABODETABEK] Akhir Pilu Wanita yang Tenggelam di Kali Mookervart | Kasus Bocah Setir Mobil Pameran dan Tabrak Tembok Mal Berujung Damai

[POPULER JABODETABEK] Akhir Pilu Wanita yang Tenggelam di Kali Mookervart | Kasus Bocah Setir Mobil Pameran dan Tabrak Tembok Mal Berujung Damai

Megapolitan
Rute Mikrotrans JAK99 Pulogadung-Lampiri

Rute Mikrotrans JAK99 Pulogadung-Lampiri

Megapolitan
Tak Hanya Chandrika Chika, Polisi juga Tangkap Atlet E-Sport Terkait Kasus Penyalahgunaan Narkoba

Tak Hanya Chandrika Chika, Polisi juga Tangkap Atlet E-Sport Terkait Kasus Penyalahgunaan Narkoba

Megapolitan
Akibat Pipa Bocor, Warga BSD City Terpaksa Beli Air Isi Ulang

Akibat Pipa Bocor, Warga BSD City Terpaksa Beli Air Isi Ulang

Megapolitan
Buka Pendaftaran PPK, KPU Depok Butuh 55 Orang untuk di 11 Kecamatan

Buka Pendaftaran PPK, KPU Depok Butuh 55 Orang untuk di 11 Kecamatan

Megapolitan
Selebgram Chandrika Chika Ditangkap Polisi Terkait Kasus Penyalahgunaan Narkotika

Selebgram Chandrika Chika Ditangkap Polisi Terkait Kasus Penyalahgunaan Narkotika

Megapolitan
Polisi Sebut Korban Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Derita Kerugian Puluhan Juta

Polisi Sebut Korban Penipuan Beasiswa S3 ke Filipina Derita Kerugian Puluhan Juta

Megapolitan
Sambut Pilkada DKI dan Jabar, PAN Prioritaskan Kadernya Maju di Pilkada 2024 Termasuk Zita Anjaini

Sambut Pilkada DKI dan Jabar, PAN Prioritaskan Kadernya Maju di Pilkada 2024 Termasuk Zita Anjaini

Megapolitan
Air di Rumahnya Mati, Warga Perumahan BSD Terpaksa Mengungsi ke Rumah Saudara

Air di Rumahnya Mati, Warga Perumahan BSD Terpaksa Mengungsi ke Rumah Saudara

Megapolitan
Pria Tewas di Kamar Kontrakan Depok, Diduga Sakit dan Depresi

Pria Tewas di Kamar Kontrakan Depok, Diduga Sakit dan Depresi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com