Oleh: Neli Triana

JAKARTA, KOMPAS.com - Inilah ironi Ibu Kota. Saat banjir mulai surut, genangan mengering, yang tertinggal hanyalah lumpur dan berbagai macam sampah. Kering dalam arti sebenarnya, air bersih sulit didapat. Warga hampir dipastikan bakal didera cobaan lanjutan pascabanjir, yaitu risiko tertular bermacam penyakit.

Warga di kawasan Bukit Duri, Tebet, dan Rawajati, Pancoran, yang sudah kebanjiran sejak lebih dari dua minggu lalu, misalnya, mulai terjangkit beberapa penyakit, seperti influenza, diare, dan penyakit kulit.

”Sudah gatal-gatal sejak seminggu lalu. Anak-anak saya juga kena flu semua,” kata Yatman (43), warga Bukit Duri.

Selama ini, Yatman dan keluarganya kadang tinggal di pengungsian, tetapi setiap hari selalu berupaya menengok rumahnya yang hanya beberapa meter dari bibir Ciliwung.

”Setiap kali bolak-balik ke rumah, pasti berendam banjir. Gara-gara itu mungkin jadi gatal-gatal, mana dingin lagi,” kata bapak tiga anak itu.

Yatman merupakan salah satu dari ribuan pengungsi di Bukit Duri. Tepat sepekan lalu, jumlah pengungsi Bukit Duri menembus angka lebih dari 4.500 orang.

Keluhan senada diungkapkan korban banjir di Rawajati meskipun pada Sabtu kemarin air sudah surut dan banyak warga mulai kembali ke rumah masing-masing.

”Mau mandi, tapi air bersih ga ada. Kalau ada, lebih baik dipakai dulu sama anak atau untuk masak,” kata Sukardi yang ditemui tengah menjemur berbagai peralatan rumah tangga di bawah jembatan Kalibata, kemarin siang.

Di Rawajati, jumlah pengungsi mencapai 2.444 orang, tetapi sejak Kamis (23/1) berangsur-angsur berkurang. Sampai Sabtu kemarin, hanya ada sejumlah warga RT 010 RW 001 dan RT 010 RW 003 yang bertahan di pengungsian karena dua RT tersebut memang mengalami banjir paling parah.

Beberapa warga di Bukit Duri dan Rawajati mengatakan, setiap kali habis banjir, sumur mereka dipenuhi lumpur.

”Perlu beberapa hari sebelum dapat air yang agak bening. Pompa juga sering rusak karena pasti kena air walau sedikit meskipun sudah kita copot dan simpan saat banjir mulai datang,” kata Mardian, tetangga Yatman.

Pasok air bersih

Pemerintah Kota Jakarta Selatan berusaha cepat merespons kebutuhan warganya tersebut. Mereka berusaha menyediakan 6.000 liter air bersih per hari, khususnya untuk memenuhi kebutuhan warga sehari-hari, seperti mandi, cuci, dan buang air. Air bersih yang dipasok melalui truk-truk tangki itu terlihat sudah ada sejak pagi di Rawajati, Bukit Duri, dan Pengadegan.

Menurut Wali Kota Jakarta Selatan Syamsuddin Noor, untuk mandi, cuci, dan buang air dipasok 2.000 liter air per hari. Dalam satu hari, ribuan liter air itu ludes karena memang warga korban banjir cukup banyak.

”Kami juga sediakan obat-obatan untuk penyakit yang mungkin diderita korban banjir. Silakan mendatangi posko kesehatan atau puskesmas terdekat,” katanya.

Selain dari pemerintah, kebutuhan air bersih warga juga dipasok oleh beberapa perusahaan penyedia air bersih.

Kepala Humas PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) Meyritha Maryanie mengatakan, pihaknya juga menyediakan tangki-tangki air bersih untuk korban banjir.

”Total ada 14 tandon air bersih yang disebar di beberapa lokasi pengungsian,” kata Meyritha.

Operator air bersih ini membantu kebutuhan air bersih warga, khususnya yang berada di wilayah pelayanan perusahaan tersebut, seperti di daerah Kebon Baru, Tebet, yang hingga akhir pekan kemarin sebagian kawasannya masih digenangi air setinggi satu meter.

Sumber kehidupan

Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, mengatakan, ini sungguh ironi kehidupan warga Ibu Kota. Warga Jakarta hingga kini masih selalu terbelit masalah air, baik kala musim hujan maupun kemarau. Anehnya, problem air ini justru hampir tidak pernah dianggap sebagai persoalan besar bagi pemerintah.

”Makanya, penanganan banjir ini harus berorientasi revitalisasi lingkungan, bukan sekadar bikin kanal, sodetan, atau proyek fisik lain,” katanya.

Banjir seharusnya menjadi kekuatan struktur yang harus membangun kultur kepedulian terhadap lingkungan kota. Warga diingatkan agar kembali peduli dan menjaga serta bergerak untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya.

Warga, lanjut Yayat, juga harus disadarkan bahwa sumber air terbesar selama ini ada di depan mata, yaitu 13 sungai yang mengaliri Jakarta dan sekitarnya. Revitalisasi sungai yang didahului dengan normalisasi fisik sungai menjadi awal mewujudkan kali sebagai sumber kehidupan bukan sebagai sumber bencana.