JAKARTA, KOMPAS.com - Kawasan niaga Tanah Abang, Jakarta Pusat, tak pernah surut dari aktivitas. Pagi, siang, sore, hingga malam, para pedagang, pembeli, buruh panggul, tukang parkir, sopir, kernet angkot, dan semua yang melintas turut memadati Pasar Tanah Abang.
Setelah penertiban pedagang kaki lima beberapa bulan yang lalu, keruwetan Pasar Tanah Abang sedikit teratasi. Guna menjaga kondisi ini tetap kondusif, sejumlah posko terpadu didirikan di sejumlah titik.
Namun, sayangnya, masalah kemacetan belum juga rampung, meski sudah beberapa kali juga dilakukan rekayasa lalu lintas. Pantauan Kompas.com, Jumat (31/1/2014), belasan mikrolet yang melintasi salah satu pusat grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara itu seringkali 'ngetem' atau menunggu penumpang berlama-lama di pertigaan Jati Bundar.
Beberapa diantaranya, yakni mikrolet 11, dan mikrolet 09. Akibatnya, aktivitas orang-orang yang lewat pasar itu terganggu.
Menanggapi kondisi tersebut, Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Udar Pristono mengatakan, memang tidak mudah mengubah budaya berlalu-lintas orang Indonesia. Meskipun sudah dibangun sejumlah halte di kawasan itu, melengkapi rambu-rambu, serta melakukan penjagaan di sejumlah titik, pelanggaran masih saja terjadi.
"Petugas kita tidak mungkin bisa mengawasi 24 jam penuh. Masyarakat harus bantu dengan menunggu angkutan yang benar di halte. Begitu juga operator angkutan umum. Terkait angkot yang 'ngetem', petugas kita juga menangkapi, menilang. Tapi yang namanya mengubah budaya itu tidak seperti membalikkan telapak tangan," kata Udar kepada Kompas.com, Jumat (31/1/2014).
Ia menambahkan, tertib berlalu-lintas merupakan tanggung jawab semua pihak, tak hanya Dishub, tetapi juga masyarakat pengguna jalan serta operator angkutan umum. Menurut Udar, peraturan yang sudah dibuat tinggal diikuti saja.
Dengan demikian, tidak akan lagi ada kejadian pengendara sepeda motor tertabrak Transjakarta lantaran masuk jalur busway. Mikrolet tidak akan menunggu di sembarang tempat jika masyarakat hanya menyetop angkutan umum di halte.
Denda Maksimal
Udar mengatakan, untuk mengatasi para pelanggar lalu lintas seperti angkot yang 'ngetem' sembarangan, Dishub bakal membentuk posko pencegahan dini dan melakukan pembinaan kepada pengguna jasa untuk menunggu di halte.
"Di situ nanti dilengkapi alarm, dan CCTV, di spot-spot tertentu yang trouble. Nanti, kalau mau melanggar atau ngetem kita teriaki. Dan tentu saja pelatihan untuk tidak 'ngetem' ini juga harus dibantu dengan penumpang yang tidak menunggu di sembarang tempat," terangnya.
Selain melengkapi kawasan niaga tersebut dengan posko pencegahan dini, Udar berharap agar hakim pengadilan bisa menerapkan denda maksimal untuk para pelanggar lalu lintas. Pihaknya ingin agar denda yang dikenakan berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 1 juta sehingga bisa menimbulkan efek jera.
Namun, lanjut Udar, seringkali denda yang diputus hakim hanya Rp 50.000. "Kalau dendanya Rp 50.000 orang akan mengulangi perbuatannya lagi, masuk jalur busway lagi, lewat jalan layang non tol lagi. Kalau denda maksimal kan dia kapok, jadi enggak ada korban, dan dia selamat berlalu-lintas," sambung Udar.
Terakhir, ia menambahkan, angkot yang 'ngetem' di sembarang tempat bisa dikategorikan sebagai pelanggar rambu lalu lintas karena tidak berhenti pada tempatnya. Dalam Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 tahun 2009, denda maksimal yang bisa dikenakan untuk pelanggaran ini sebesar Rp 500.000.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.