Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Surat Basuki untuk Plt Sekda: Bus-bus Pakai Solar Buang ke Laut Saja!

Kompas.com - 26/03/2014, 08:00 WIB
Kurnia Sari Aziza

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Lagi-lagi sumbangan bus perusahaan terhambat oleh rumitnya birokrasi Pemprov DKI Jakarta. Akibat itu pula, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama kembali kesal dengan aturan birokrasi yang diterapkan anak buahnya tersebut.

Jika sebelumnya kekesalannya dituangkan kepada Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Endang Widjajanti, kini emosinya meluap karena Pelaksana Tugas (Plt) Sekda DKI Wiriyatmoko. Di dalam nota dinas, Wiriyatmoko menyampaikan tindak lanjut kesepakatan bersama penyediaan unit bus transjakarta oleh pihak ketiga (perusahaan swasta).

Ada beberapa hal yang membuat Basuki kembali naik pitam mengetahui satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kembali mempersulit sumbangan bus. Pertama, terkait pengenaan pajak reklame di bus. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2011 tentang pajak reklame dan Pasal 7 huruf C Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 27 Tahun 2014 tentang penetapan nilai sewa reklame sebagai dasar pengenaan pajak reklame, khusus untuk reklame berjalan atau kendaraan ditetapkan Rp 50.000 per meter persegi per hari.

Di dalam nota dinas diperkirakan pengenaan pajak reklame mencapai Rp 346.750.000 per tahun. Dengan rincian, luas reklame bagian luar badan bus 12 meter x 2 meter x 2 muka = 48 meter persegi, 48 meter persegi x 365 hari x Rp 50.000 x 25 persen = Rp 219.000.000. Kemudian, luas reklame bagian dalam bus 48 meter persegi x 365 hari x Rp 50.000 x 50 persen x 25 persen = Rp 109.500.000.

Selanjutnya, luas reklame bagian belakang bus 4 meter x 365 hari x Rp 50.000 x 25 persen = Rp 18.250.000. Jika dijumlahkan semua, pajak reklame yang harus dibayar perusahaan mencapai Rp 346.750.000 per tahun.

Basuki tampak terkejut melihat nilai pajak yang fantastis dikenakan pada tiga perusahaan penyumbang bus, PT Telekomunikasi Indonesia, PT Rodamas, dan PT Ti-Phone Mobile Indonesia. Menurut dia, perusahaan penyumbang seharusnya tidak dikenakan pajak reklame. Sebab, mereka sudah membantu ketersediaan transportasi massal di Jakarta sehingga "penghargaan" yang diberikan kepada perusahaan adalah diizinkan memasang iklan berjalan di badan maupun di dalam bus.

"Ada enggak orang yang bayar sewa iklan di bus sampai Rp 300-an juta tiap tahunnya? Mau enggak Kopaja, Kopami, bayar sampai segitu besar pajaknya? Tapi, untuk para penyumbang ini, pajaknya besar segitu, gila ini," kata Basuki, di Balaikota Jakarta, Selasa (25/3/2014).

Pada poin berikutnya, berkenaan dengan perhitungan pajak reklame tersebut, ditulis Pemprov DKI memerlukan pendapat teknis pengadministrasian keuangan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kementerian Dalam Negeri selaku pembina keuangan daerah. Basuki tak habis pikir, mengapa untuk menerima bus sumbangan saja memerlukan pendapat Kemendagri dan BPKP. Padahal, pada pertemuan beberapa waktu lalu, Basuki turut mengundang pihak BPKP untuk memproses penerimaan sumbangan 30 bus dari tiga perusahaan itu.

Emosinya semakin meluap mengetahui Plt Sekda sedang memproses surat verbal kepada Kemendagri. Ia mengatakan, proses yang rumit itu mempersulit dan memperpanjang waktu bus sumbangan diterima oleh Pemprov DKI. Menurut Basuki, banyak "jebakan batman" dalam nota dinas yang diberikan Plt Sekda kepadanya. Dengan adanya peraturan baru terkait rekomendasi dari Kemendagri dan BPKP, pihaknya tidak bisa menerima bus sumbangan itu. Jika belum mendapat rekomendasi, tetapi DKI telah menerima bus, DKI akan melanggar peraturan yang berlaku.

"Benar-benar gila, dia (Plt Sekda) kalau ngomong sama saya sih sopan, tapi banyak 'jebakan batmannya'. Mereka memang maunya Jakarta kekurangan bus, terus beli lagi, lelang tender, bus China dibeli dan berkarat lagi," kata Basuki menumpahkan kekesalannya.

Poin berikutnya yang membuatnya kesal adalah bus sumbangan harus berbahan bakar gas (BBG). Sementara bahan bakar yang digunakan di bus sumbangan itu adalah solar. Perda yang digunakan untuk sumbangan bus transjakarta adalah Pasal 20 (1) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara.

Dalam aturan itu, diatur bahwa angkutan umum dan kendaraan operasional Pemprov DKI wajib menggunakan bahan bakar gas sebagai upaya pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor. Atas dasar itu, Basuki mempertanyakan, seharusnya kendaraan operasionalnya juga dilarang beroperasi karena menggunakan solar sebagai bahan bakar. Seharusnya, sumbangan bus berbahan bakar solar itu langsung diterima karena DKI tidak memiliki unit bus transjakarta yang cukup memenuhi kebutuhan masyarakat Jakarta.

Menurut Basuki, masyarakat Jakarta tidak akan keberatan untuk menggunakan bus berbahan bakar solar hingga ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) tercukupi. Basuki dapat memaklumi adanya peraturan Pemprov DKI tidak bisa membeli transjakarta dan kendaraan operasional berbahan bakar solar. Maka, ia memilih untuk menerima sumbangan bus dari berbagai perusahaan swasta.

Basuki mengatakan, Wiriyatmoko meminta bus sumbangan itu dioperasikan pada koridor yang belum  tersedia fasilitas SPBG dan memasang converter kit pada bus sumbangan tersebut. Selanjutnya, Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) menganggarkan dalam anggaran pendapatan belanja daerah perubahan (APBD-P). Basuki pun menuliskan memo di surat Plt
Sekda itu.

"Kepada saudara Plt Sekda, kalau begitu tegakkan seluruh Perda. Bus-bus di Jakarta yang pakai solar buang ke laut saja."

Basuki menjelaskan, spesifikasi bus sumbangan itu bermesin Euro 3, yang emisinya lebih baik dari gas. Masyarakat Jakarta juga lebih memilih unit bus transjakarta yang tercukupi dan tidak akan mempertimbangkan apakah bus itu menggunakan solar atau gas. Hingga ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) mencukupi, seharusnya penggunaan solar di transportasi massal diperbolehkan.

"Ini namanya sabotase, padahal kita tahu untuk mengatasi kemacetan ini, kuncinya di mana? Pindahkan orang ke bus. Kalau busnya datang tiap satu menit, orang-orang pasti mau pindah ke bus," kata Basuki.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Remaja yang Dianiaya Mantan Sang Pacar di Koja Alami Memar dan Luka-luka

Remaja yang Dianiaya Mantan Sang Pacar di Koja Alami Memar dan Luka-luka

Megapolitan
Toko 'Outdoor' di Pesanggrahan Dibobol Maling, Total Kerugian Rp 10 Juta

Toko "Outdoor" di Pesanggrahan Dibobol Maling, Total Kerugian Rp 10 Juta

Megapolitan
Dua Begal Motor di Bekasi Terancam Pidana 9 Tahun Penjara

Dua Begal Motor di Bekasi Terancam Pidana 9 Tahun Penjara

Megapolitan
Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Megapolitan
Cerita Warga 'Numpang' KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Cerita Warga "Numpang" KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Megapolitan
Gerindra Jaring Sosok Calon Wali Kota Bogor, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Jadi Pendaftar Pertama

Gerindra Jaring Sosok Calon Wali Kota Bogor, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Jadi Pendaftar Pertama

Megapolitan
Heru Budi: Normalisasi Ciliwung Masuk Tahap Pembayaran Pembebasan Lahan

Heru Budi: Normalisasi Ciliwung Masuk Tahap Pembayaran Pembebasan Lahan

Megapolitan
Pengemudi Fortuner Arogan Pakai Pelat Palsu TNI untuk Hindari Ganjil Genap di Tol

Pengemudi Fortuner Arogan Pakai Pelat Palsu TNI untuk Hindari Ganjil Genap di Tol

Megapolitan
Dua Kecamatan di Jaksel Nol Kasus DBD, Dinkes: Berkat PSN dan Pengasapan

Dua Kecamatan di Jaksel Nol Kasus DBD, Dinkes: Berkat PSN dan Pengasapan

Megapolitan
Gerindra Buka Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Tanpa Syarat Khusus

Gerindra Buka Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Tanpa Syarat Khusus

Megapolitan
Kronologi Remaja Dianiaya Mantan Sang Pacar hingga Luka-luka di Koja

Kronologi Remaja Dianiaya Mantan Sang Pacar hingga Luka-luka di Koja

Megapolitan
Jadi Tukang Ojek Sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Bakar Bisa Bikin Rumah dan Biayai Sekolah Anak hingga Sarjana

Jadi Tukang Ojek Sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Bakar Bisa Bikin Rumah dan Biayai Sekolah Anak hingga Sarjana

Megapolitan
Harga Bawang Merah di Pasar Perumnas Klender Naik, Pedagang: Mungkin Belum Masa Panen

Harga Bawang Merah di Pasar Perumnas Klender Naik, Pedagang: Mungkin Belum Masa Panen

Megapolitan
Polisi Tangkap Pembegal Motor Warga yang Sedang Cari Makan Sahur di Bekasi

Polisi Tangkap Pembegal Motor Warga yang Sedang Cari Makan Sahur di Bekasi

Megapolitan
Tertipu Program Beasiswa S3 di Filipina, Korban Temukan Berbagai Kejanggalan

Tertipu Program Beasiswa S3 di Filipina, Korban Temukan Berbagai Kejanggalan

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com