JAKARTA, KOMPAS.com - Kematian dua taruna tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, yakni Agung Bastian Gultom pada 2008 dan Dimas Dikita Handoko pada 25 April 2014, barangkali tak sesuai harapan Presiden Soekarno. Saat meresmikan sekolah itu pada 27 Februari 1957, Bung Karno berharap Akademi Ilmu Pelayaran (nama STIP ketika itu) menjadi tempat penyelenggaraan ”nation building” dan memenuhi dharma baktinya.

Pesan Bung Karno itu tertulis jelas di plakat berbahan marmer di depan gedung utama Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta. Setiap pengunjung bisa dengan mudah melihatnya.

Di sudut belakang kompleks sekolah di Marunda, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, tepat di sisi selatan asrama taruna, berdiri tugu untuk mengenang kematian Gultom, panggilan Agung Bastian Gultom. Di bangunan itu tertulis pesan, ”Hindari tindak kekerasan agar tidak terulang lagi peristiwa 12 Mei 2008 yang mengakibatkan Taruna Agung Bastian Gultom Meninggal Dunia”.

Namun, pesan Bung Karno dan tugu itu sepertinya diabaikan sejumlah taruna. ”Pembinaan” taruna senior kepada taruna yunior kembali menelan korban.

Empat hari sebelum penganiayaan terjadi, sejumlah teman Dimas, termasuk Marvin Jonathan, dipanggil sejumlah taruna tingkat dua di ruang makan. Marvin mengaku diminta datang ke rumah kontrakan beberapa taruna tingkat dua di Semper Barat, Kecamatan Cilincing, bersama 13 teman satu angkatannya.

Menurut keterangan korban luka dan sejumlah saksi, para senior tersinggung oleh sikap taruna tingkat satu yang dinilai tidak menghormati senior. Pada Jumat malam, sejumlah senior marah karena hanya separuh dari 14 taruna tingkat satu yang datang ke rumah kontrakan.

Marvin, Dimas, dan sejumlah temannya pun dipukul. Dalam bahasa para taruna itu, pukulan itu dalam rangka ”pembinaan”. Metode ”pembinaan” serupa diduga lazim dilakukan taruna tingkat lebih tinggi kepada taruna di tingkat lebih rendah.

”Ada pendarahan di otak belakang Dimas akibat benturan. Dia dipukul hingga jatuh beberapa kali,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Utara Ajun Komisaris Besar Daddy Hartadi.

Tujuh taruna tingkat satu menjadi korban. Enam di antaranya luka memar. Saat Dimas terjatuh, mereka lalu membawanya ke rumah sakit. Sejumlah senior menyebut Dimas luka karena terjatuh. Namun, dokter curiga karena ada lebam yang diduga akibat pukulan. Naas, nyawa Dimas tak tertolong.

Peristiwa itu mengagetkan orangtua siswa. Senin siang, mereka mendatangi STIP untuk menuntut penjelasan sekaligus jaminan dari pihak sekolah. Mereka tidak ingin kasus serupa terulang.

Kepala Pusat Pembinaan Mental Moral dan Kesamaptaan STIP Jakarta Budi Purnomo mengatakan, sejak kasus tahun 2008, sebetulnya pengawasan diperketat, termasuk menyiagakan taruna dan memasang kamera pengintai. ”Kasus kali ini terjadi di luar kampus di luar jam belajar. Namun, peristiwa ini menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan,” kata Budi.

Menurut Budi, tidak ada toleransi bagi kekerasan di kampus. ”Pembinaan di luar (kampus) itu ilegal,” ujarnya. (Mukhamad Kurniawan)