SN mendapat gaji tiga bulan sekali. Setiap bulan dia mesti berutang, mulai dari beras sampai lauk-pauk. "Jadi, begitu saya terima gaji tiga bulan sekali, uangnya langsung tersedot buat bayar utang lebih dari separuhnya," kata SN kepada Warta Kota pekan lalu.
SN mengaku bekerja seharian penuh, hampir 24 jam setiap harinya. Pagi sampai sore hari, SN bekerja di kantor kelurahan. Dia disuruh ke sana-kemari, paling sering untuk fotokopi berkas.
Kemudian seusai jam kantor, SN pergi ke salah satu apartemen dekat tempat kerjanya. Dia bekerja sebagai sekuriti di sana. Upahnya Rp 600.000 sebulan. Biasanya SN berjaga sampai semua penghuni masuk.
Selanjutnya, seusai semua penghuni masuk apartemen, SN memilih tidur tiga sampai empat jam. Kemudian bangun pagi harinya dan langsung pergi bekerja di kantor kelurahan lagi.
Sampai di kantor kelurahan, apabila belum ada pekerjaan, SN memilih tidur beberapa saat di kursinya. Seperti pada Rabu (30/4/2014), SN tertidur dengan kacamata hitamnya. Dia memakai sandal jepit dan duduk di kursi bosnya. Begitu bosnya datang, SN terbangun dan menyingkir, melepas kacamata hitamnya lalu pergi dari ruangan.
Pengorbanan SN kini sia-sia. Dia gagal jadi PNS. Padahal harapan menjadi PNS sudah memuncak. "Saya pikir saya akan diangkat jadi PNS. Ternyata tidak juga. Sekarang usia saya sudah 41 tahun. Sulit mencari pekerjaan dengan ijazah SMP. Mungkin saya akan di sini terus. Saya sudah merelakan jadi pegawai honorer seumur hidup," ujar SN sambil menitikkan air mata.
Masalah sepele
Ratusan CPNS yang sudah lolos tes, tetapi nasibnya menjadi tidak jelas sebenarnya hanya karena persoalan spele. Ini terjadi lantaran karut-marutnya pengaturan pegawai honorer di DKI.
Semua masalah ini berawal saat pendataan pegawai honorer di DKI Jakarta tahun 2009 dan 2010. Ketika itu, di beberapa dinas, termasuk DPU Jakarta, para petugas honorer tidak dibekali SKH, padahal umumnya sudah bekerja sejak tahun 2004.
Makanya ketika ada wacana akan ada pendataan honorer untuk ikut tes CPNS, banyak pegawai honorer berbondong-bondong membuat SKH ke kepala dinasnya masing-masing. Termasuk SA yang kemudian secara mulus mendapat SKH-nya.
Selanjutnya tahun 2013 akhir, SA diundang ikut tes CPNS. Saat itu ada 400 pegawai honorer DPU yang ikut tes. Kemudian, pada Februari 2014 menjadi bulan paling berbahagia bagi SA dan 121 rekannya di DPU DKI. Mereka dipastikan lobos tes CPNS.
Namun, kebahagiaan itu kini sirna. Pada April 2014, bagian kepegawaian DPU DKI justru menyatakan mereka gagal saat pemberkasan. DKI beranggapan SKH yang dibuat tahun 2009 dan 2010 untuk SA tak sah.
Begitu pula rekan-rekan SA lainnya. Terhitung dari 122 yang lolos tes SPNS, hanya 10 pegawai honor yang dinyatakan SKI-1-nya sah. Bagi SA ini tak masuk akal sebab sebelum tes berlangsung SKH itu sudah dinyatakan sah. "Kok begitu pemberkasan jadi tak sah. Aneh ini," kata SA.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Manggas Rudi Siahaan mengakui kacaunya tes CPNS ini. Rudi mengaku ada banyak peserta yang tidak lulus menyanggah secara tertulis bahwa sebagian yang lulus melakukan rekayasa administrasi. Makanya dilakukan proses verifikasi.
"Mudah-mudahan setelah selesai validasi dan verifikasi secara jujur hal ini bisa cepat rampung," kata Rudi kepada Warta Kota, Jumat (2/5/2014) pekan lalu. (ote)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.