”Para mahasiswa yang setiap tahun mendapat perlakuan keras dari para senior akhirnya mewariskan dendam kepada yunior sehingga muncul lingkaran setan aksi balas dendam,” kata sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Soeprapto, kepada Kompas, Minggu (4/5).
Soeprapto menanggapi aksi kekerasan di dunia pendidikan yang berkali-kali terjadi. Terakhir, kasus ini menimpa Dimas Dikita Handoko (19), taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, 25 April 2014. Kepala Polres Jakarta Utara Komisaris Besar Muhammad Iqbal seperti dikutip Kompas 27 April lalu menyebutkan, kasus penganiayaan itu berawal dari kegiatan yang sebenarnya bertujuan membina taruna yunior.
”Katanya, para yunior ditatar agar lebih disiplin dan hormat kepada senior. Ujung-ujungnya menjurus penganiayaan dan mengakibatkan kematian,” kata Iqbal.
Taruna STIP Jakarta, Agung Bastian Gultom, juga tewas karena kasus serupa pada tahun 2008.
Alumnus STIP (dulu bernama Akademi Ilmu Pelayaran) tahun 1994, Dale Effendi, mengakui ada hukuman fisik di almamaternya. Namun, hukuman fisik yang diterapkan di STIP memiliki batasan-batasan yang terukur.
”Kalaupun ada kesalahan, taruna seharusnya hanya ditempeleng saja, disuruh push up atau squat jump, tidak perlu ada pemukulan atau tendangan,” kata Dale, yang juga Ketua Persatuan Pelaut Indonesia Timur.
Menurut Dale, setiap pembina, baik kakak angkatan maupun dosen, harus bertanggung jawab kepada mahasiswa ketika mereka berada di dalam atau di luar lingkungan STIP. ”Tidak boleh dikatakan bahwa karena aksi kekerasan ini dilakukan di luar kampus, lalu kampus tak bersalah. Bagaimanapun kasus ini tetap menjadi tanggung jawab pembina STIP. Siapa pun yang melakukan harus dihukum berat. Pemimpin STIP juga harus bertanggung jawab mengapa bisa terjadi pembiaran kasus serupa hingga berkali-kali,” kata Dale.
Soeprapto berpendapat, pendidikan semimiliter memang menanamkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan ketangguhan mental. Namun, lembaga pendidikan salah memahami konsep kedisiplinan. ”Sikap disiplin, bertanggung jawab, dan tangguh dalam mental bisa dilatih tanpa harus melalui aksi kekerasan atau upaya pembunuhan karakter seseorang,” kata Soeprapto.
Menurut Soeprapto, orientasi mahasiswa dalam pendidikan tidak harus berbasis pada kekerasan, tetapi bisa dilakukan dengan mengarahkan mereka pada pemikiran-pemikiran rasional lewat diskusi-diskusi serta dialog rasional. Soeprapto menegaskan, semestinya indikator penanaman kedisiplinan, tanggung jawab, dan ketangguhan mental anak didik di lembaga pendidikan semimiliter harus diperjelas.
Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini Diena Haryana, yang bergerak di bidang anti terhadap intimidasi (anti-bullying), berpendapat, pemimpin dan para dosen di kampus-kampus punya kewajiban melindungi mahasiswa. Kampus perlu menerapkan paradigma baru bahwa para mahasiswa bisa menjadi tegar, percaya diri, kreatif, cerdas, dan tidak ”lembek” dengan cara-cara yang manusiawi. ”Ajak mereka berdiskusi penuh wawasan baru, cerdas, dan memberdayakan anak-anak muda,” katanya.
Senada dengan Soeprapto, Diena menyarankan pemerintah merombak praktik orientasi mahasiswa agar anti terhadap kekerasan, berikut konsekuensi tegas secara tertulis bagi para pemimpin kampus dan mahasiswa yang tidak proaktif mengatasi masalah kekerasan di kampus ini.
Potong satu generasi
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Bidang Pendidikan Musliar Kasim di Jakarta, Minggu, juga menyatakan, lembaga pendidikan harus bisa mengantisipasi kekerasan yang dilakukan atas dasar hubungan kekuasaan seperti dari mahasiswa senior ke yunior. Jika terjadi kekerasan, seperti kasus di STIP, harus dipotong ”satu generasi”.
Pemerintah, lanjut Musliar, tentu tidak dapat bekerja sendirian. Untuk itu dibutuhkan keterlibatan aktif masyarakat dalam ikut mengawasi lembaga pendidikan.
Mendikbud Mohammad Nuh, pekan lalu, sudah meminta pengusutan tuntas kasus di STIP itu. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menyiapkan sanksi penutupan jurusan yang terlibat. STIP Jakarta memiliki tiga jurusan, yaitu Nautika, Teknika, dan Kepelabuhanan. Dimas tercatat sebagai taruna Jurusan Nautika.
Nuh menambahkan, setelah menjalani sanksi selama satu hingga dua tahun, Kemdikbud akan mengevaluasi kembali apakah budaya kekerasan itu sudah hilang dari kampus tersebut.
Jika kondisinya sudah kondusif, kata Nuh, kampus itu boleh menerima mahasiswa baru lagi. Apabila masih ditemui benih-benih kekerasan, kampus tersebut bisa ditutup secara permanen sebagai pelajaran.
”Kalau tidak diputus begitu akan terus berlanjut turun-temurun. Tidak akan selesai balas dendamnya dari yunior ke senior. Harus dipotong mata rantainya atau potong generasinya,” kata Nuh.
Kepala Pusat Pembinaan Mental Moral dan Kesamaptaan STIP Jakarta Budi Purnomo mengatakan, sejak kasus tahun 2008, sebetulnya pengawasan diperketat, termasuk menyiagakan taruna dan memasang kamera pemantau. ”Kasus kali ini terjadi di luar kampus di luar jam belajar. Namun, peristiwa ini menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan,” kata Budi.
Menurut Budi, tidak ada toleransi bagi kekerasan di kampus. ”Pembinaan di luar (kampus) itu ilegal,” ujar Budi, seperti dikutip Kompas, 30 April lalu. (ABK/ELN/LUK/MKN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.