Sebagian anak (21-49 persen) memiliki resiliensi atau ketahanan diri dengan tidak langsung menunjukkan gejala perubahan perilaku jika mengalami kejahatan seksual (Conte&Schuerman 1987 a,b; Caffaro-Rouget, Lang & Van Santen, 1989). Hal ini disebut asimptomatik atau sleeper effect, yaitu peristiwa yang tidak langsung menunjukkan gejala, seperti kanker yang pada sebagian orang asimptomatik, tahu-tahu sudah stadium IV.
Peristiwa kejahatan seksual terhadap anak terungkap atau disclosed langsung jika tertangkap basah oleh saksi mata atau setelah beberapa lama terungkap dalam percakapan anak dengan orangtuanya. Orangtua sebaiknya meluangkan waktu berbincang dengan anak-anaknya, misalnya dengan menanyakan, ”Bagaimana hari ini? Menyenangkan atau buruk?” Percakapan sederhana setiap hari ini membantu mendeteksi jika terjadi hal buruk pada diri anak.
Resiliensi anak terhadap kejahatan seksual yang dialaminya menyebabkan orang dewasa/ orangtua/guru tidak langsung pada hari yang sama tahu. Karena itu, sangat penting mengajarkan upaya pencegahan lewat kurikulum pendidikan formal di sekolah dengan pengenalan bagian privat badan yang tidak boleh disentuh orang lain serta sentuhan yang boleh dan tidak boleh pada fase paling awal kehidupan anak (0-6 tahun) dengan buku-buku bergambar sederhana yang menarik perhatian dan mudah dipahami.
Selain resiliensi anak yang tidak langsung menunjukkan perubahan perilaku/asimptomatik/sleeper effect, orang dewasa sering lupa bahwa anak usia dini 0-6 tahun belum memiliki kosakata seksual dan perilaku seksual dalam kognitifnya sehingga kesulitan mengungkapkannya. Kultur yang menabukan pendidikan seks menambah rentan anak-anak terhadap kejahatan seksual.
Selain itu, organ seksual sekunder anak usia dini belum berkembang sehingga jika dicabuli anak akan bingung, marah, sedih, takut, cemas, dan kehilangan kontrol atas badannya sendiri. Akibatnya, kejadian bisa berulang.
Pelaku kejahatan seksual pada anak mengancam dengan kekerasan, dominasi, dan eksploitasi. Pelaku kejahatan seksual pada anak di wilayah publik biasanya bekerja sama menjaga blind spot dari saksi mata, seperti pencopet berantai yang melempar hasil copetan kepada kelompoknya agar tidak meninggalkan jejak.
Penyusupan beberapa pemerkosa anak ke wilayah publik sebagai tenaga pembersih menunjukkan rusaknya moral di mana pekerjaan menjadi bagian dari rencana kejahatan. Muncul pemerkosa dewasa berjejaring dalam pekerjaan di Indonesia menunjukkan betapa patah struktur sosial masyarakat dan degradasi moral pelaku. Pelaku biadab ini harus dihukum sangat berat.
Idealnya semua toilet di TK dan pra-TK menjadi bagian dari ruang kelas dan anak TK diantar jika ke toilet. Meski demikian, para pelaku kejahatan ini bisa menemukan blind spot lain di ruang publik. Misalnya, di antara mobil-mobil parkir dan di dalam mobil yang diparkir, gudang penyimpanan barang, atau padang luas dengan tanaman rimbun.
Kejahatan di rumah
Yang juga perlu diwaspadai orangtua dengan anak balita adalah kejahatan seksual pada anak dapat terjadi di rumah justru oleh orang-orang dekat yang dipercaya orangtua.
Mukhotib (2007) menyitir analisis CWGEL pada Januari-Mei 2003, dari 172 kasus sebanyak 47,7 persen dilakukan oleh tetangga korban, 4,6 persen oleh ayah tiri, 4,1 persen oleh pacar, 2,9 persen oleh ayah kandung, 2,9 persen oleh paman. Dalam periode Juni-Agustus 2003, dari 82 kasus sebanyak 24,5 persen dilakukan tetangga, 3,7 persen oleh pacar, 2,4 ayah tiri dan 1,2 oleh kakak ipar.
Kejahatan seksual di rumah/domestik biasanya durasinya lama dan berulang, dapat berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, dengan mengancam anak untuk merahasiakan (silent victims) dan membuat anak tertekan serta kehilangan kontrol atas badannya sendiri.
Modus operandi pelaku kejahatan seksual di rumah berbeda dari kejahatan seksual di wilayah publik. Pelaku biasanya tunggal, mendekati anak dengan manis, menyentuh badan anak yang terlarang seolah-olah permainan, dan berganti-ganti antara mengancam dengan kekerasan untuk merahasiakan dan memberikan hadiah supaya mengikuti kehendak pelaku.
Anak dalam dominasi dan eksploitasi akan tertekan, tidak berani melawan, dan tidak berdaya. Berbagai biografi survivor korban kejahatan seksual pada anak di rumah menunjukkan akibat buruk jangka panjang (Herman, 1981; McGregor, 1984).
Tingkat penyembuhan luka jiwa raga korban berhubungan dengan usia korban, onset (umur mulai terjadi kejahatan seksual), durasi (lamanya kejadian), frekuensi (seringnya kejadian), dan jenis kekerasan seksual. Dengan terapi psikiatri interventif, anak di bawah 7 tahun (age of reason) prognosis kesembuhannya lebih baik daripada anak di atas 7 tahun yang telah dapat membedakan realita dan imajinasi.
Terapi psikiatri anak korban kejahatan seksual di bawah 7 tahun dilakukan dengan art therapy, play therapy untuk mengembalikan kontrol atas badannya sendiri, mengelola kemarahan, kesedihan, serta luka batin dan fisik anak. Peran maternal (ibu) vital untuk penyembuhan.
Upaya pencegahan
Dalam kurikulum di semua tingkat pendidikan, perlu diajarkan penghargaan tubuh manusia dengan tiga prinsip bioetika: do no harm, jangan membahayakan; respect for others, hargai orang lain; dan autonomy, badan orang lain adalah milik orang tersebut. Membangun pelajaran biologi reproduksi dan nilai-nilai kesakralan hubungan seksual sebagai fungsi reproduksi kelak ketika telah berkeluarga bagi murid SD, SMP, dan SMA.
Pada anak TK dan pra-TK, masukkan dalam kurikulum pelajaran pengenalan bagian badan yang terlarang dan tidak boleh disentuh orang lain; seperti sentuhan apa yang aman (pelukan, bergandeng tangan, membersihkan) dan apa yang seksual (bagian terlarang badan).
Peran negara dan laporan masyarakat vital untuk menutup semua situs porno anak dan menghukum seberat-beratnya pemakai dan pengelola situs porno anak. Indonesia sebagai bangsa yang beradab harus melihat masalah gunung es ini dengan jernih untuk bertindak melindungi anak-anak, termasuk anak tamu-tamu negara yang berdinas dan bersekolah di Indonesia.
Kasus paedofilia di sekolah Inggris yang diungkap FBI dan pelakunya bunuh diri membuat Perdana Menteri Inggris dengan tanggap dan cepat merancang UU untuk memperlakukan penjahat seksual seperti teroris.
Etty Indriati
Guru Besar Antropologi Kedokteran Universitas Atma Jaya Jakarta