Yayat mengatakan, rumah deret awalnya memang cenderung pada aspek rehabilitasi rumah belum menyentuh pada aspek yang paling penting, yaitu status kepemilikan lahan atau pengadaan tanahnya.
Untuk itu, program kampung deret tidak bisa dilakukan di setiap permukiman. Mengacu pada pernyataan Basuki, ada banyak syarat agar satu kompleks permukiman bisa menjadi obyek pembangunan kampung deret.
Program kampung deret juga menjadi bagian dari upaya DKI menyediakan rumah layak bagi warga berpenghasilan rendah.
”Sebenarnya, jalan tengahnya sudah dicoba melalui peran PT Jakarta Propertindo sebagai BUMD. PT Jakpro diberi mandat oleh gubernur untuk mengadakan tanah murah untuk pembangunan rumah susun,” kata Yayat.
Tanah yang sudah dibeli oleh Jakpro ditawarkan kepada pengembang yang bersedia berinvestasi membangun rusun. Jika Jakpro sukses dengan konsep bank lahannya ini diyakini akan membantu percepatan pengadaan rumah murah bagi warga yang tidak mampu.
Terkait kebutuhan listrik, lanjut Yayat, harus diakui saat ini PLN sedang menghadapi krisis energi. Tidak hanya kampung deret yang seret aliran listriknya, tetapi banyak obyek lain, seperti program rusun, mengalami hal serupa.
Dinas Perumahan DKI sampai saat ini hanya berwenang terkait dengan rehabilitasi rumah. Pengadaan listrik sebenarnya tanggung jawab individu.
”Untuk itulah ke depan jangan sampai program kampung deret jalan sendiri. Sejak awal harus ada komitmen dengan pihak yang berwenang dalam pengadaan infrastruktur penting, seperti listrik dan air,” kata Yayat.
Dulu, tambah Yayat, Kementerian Perumahan Rakyat punya konsep Kasiba (kawasan siap bangun) dan Lisiba (lingkungan siap bangun). Akan tetapi, program ini gagal ketika ketersediaan infrastruktur kota tidak mendukung. (FRO/NEL)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.