Kepala Satuan Kerja Pelaksana Pembangunan Jalan Tol Tanjung Priok Direktorat Jenderal Binamarga Kementerian Pekerjaan Umum, Bambang Nurhadi mengatakan, tahapan proyek tidak terganggu putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. ”Lahan milik penggugat umumnya berada di luar lokasi pembangunan pilar dan jalan. Karena itu, penyelesaian proyek tidak terlalu terganggu putusan itu,” kata Bambang Nurhadi, Jumat (22/8), di Jakarta.
Kamis (14/8) lalu, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara menetapkan harga tanah para penggugat, yakni 47 pemilik bidang lahan di Koja, Jakarta Utara, Rp 35 juta per meter persegi. Majelis hakim yang terdiri dari Dasma, Richard Silalahi, dan Y Wisnu Wicaksono juga menghukum pihak tergugat, yakni Satuan Kerja Pelaksana Pembangunan Jalan Tol Tanjung Priok dan Panitia Pembebasan Tanah, membayar ganti rugi seluruh tanah milik penggugat Rp 35 juta per meter persegi.
Dia mengatakan, putusan itu mengejutkan karena nilai ganti rugi jauh lebih besar dari angka penetapan tim penilai Rp 12 juta per meter persegi. Putusan itu juga mengejutkan karena memutus harga jual lahan untuk kepentingan umum. Padaha, menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, penetapan pembebasan lahan ditentukan oleh lembaga penilai yang ditetapkan oleh bupati/wali kota atau gubernur.
Pada Pasal 25 Ayat 1 peraturan tersebut, panitia pengadaan tanah kabupaten atau kota menunjuk lembaga penilai harga tanah yang telah ditetapkan oleh bupati/wali kota atau gubernur untuk menilai harga tanah. Pasal selanjutnya menyebutkan, lembaga penilai harga tanah adalah lembaga yang sudah mendapat lisensi dari BPN RI.
Terkait putusan itu, pemerintah daerah menyatakan akan mengajukan banding ke pengadilan tinggi. Namun, lanjut Bambang, proyek akan berlanjut terus.
Tetap menolak
Pemprov DKI melalui Wali Kota Jakarta Utara Heru B Hartono tetap menolak putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Heru tidak mempersoalkan nilai ganti rugi yang diputuskan pengadilan, tetapi mempersoalkan proses pengambilan keputusan majelis hakim. Pemerintah tidak mendapatkan informasi detail mengapa pengadilan memutuskan nilai penggantian lahan Rp 35 juta per meter persegi.
Jika memang nilai penaksiran yang sebelumnya terlalu rendah, seharusnya pengadilan memerintahkan penaksiran ulang. Penaksiran ulang dengan menunjuk pihak ketiga akan lebih fair daripada langsung memutuskan nilai penggantian lahan.
”Nilai Rp 35 juta saat ini saja tidak sesuai dengan harga pasar. Warga setempat bisa bergejolak jika keputusan itu disetujui. Lebih baik tidak menjadi Wali Kota Jakata Utara daripada menyetujui keputusan itu,” kata Heru.
Perwakilan warga pemilik lahan, Bambang Heryanto, mengatakan, ada informasi yang kurang lengkap beredar di masyarakat. Informasi yang dimaksud mengenai runtutan fakta pembebasan lahan. Menurut Bambang, harga penaksiran Rp 12 juta merupakan harga taksiran tahun 2010 yang tidak sesuai dengan harga pasar saat ini.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengatakan, pembebasan lahan menjadi persoalan yang pelik. Bagi warga yang tidak mau menjual lahannya untuk kepentingan pembangunan, Pemprov DKI akan membawa ke pengadilan.
(MKN/NDY/FRO)