Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengkaji Penerapan Jalan Berbayar Elektronik

Kompas.com - 08/09/2014, 16:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Perhubungan EE Mangindaan menargetkan bahwa pada akhir 2015 konsep jalan berbayar elektronik (electronic road pricing/ERP) diterapkan dalam sistem transportasi perkotaan. Ada dua kota yang akan menerapkan ERP, yakni Jakarta dan Surabaya.

Penerapan ERP di Jakarta sebenarnya sudah sangat terlambat. Seharusnya konsep ini sudah diterapkan beberapa saat setelah kebijakan three in one dijalankan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seolah terlena. Melihat kemacetan Jalan Sudirman, Thamrin, dan Gatot Subroto berkurang saat kebijakan itu berlaku, Pemprov DKI Jakarta berhenti berinovasi. Akibatnya, timbul upaya-upaya masyarakat untuk mengakali kebijakan itu. Buktinya, walau sudah lebih dari 20 tahun diterapkan, upaya untuk mengakali dan melanggar aturan ini tetap terjadi hingga hari ini.

Di negara-negara lain, begitu kebijakan 3 in 1 dijalankan langsung diikuti dengan penerapan ERP dan tentunya penyediaan angkutan umum massal yang nyaman, aman, murah, dan andal. Negara-negara lain yang menerapkan ERP antara lain Singapura, Swedia, Norwegia, dan Taiwan.

Di Indonesia, ketika Pemprov DKI ingin menerapkan ERP, Pemprov tidak bisa serta-merta melakukannya. Pasalnya, Pemprov terkendala aturan, terutama menyangkut pajak. ERP yang mengutip uang dari pengendara, termasuk pajak atau retribusi? Pajak masuk ke dalam kas negara, sedangkan retribusi masuk ke kas daerah.

Selain itu, untuk menerapkan ERP diperlukan juga payung hukum yang bisa menjadi pegangan dan patokan bagi pemda-pemda yang akan menerapkan.

Fungsi ERP adalah mengurangi kemacetan dengan pembatasan pengendara. Jangan sampai ERP menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Di Jakarta, jika ERP dikenakan Rp 20.000 per sekali lewat dan ada 500.000 kendaraan yang melintas, Jakarta akan mendapat Rp 10 miliar sehari. Tentu ini menjadi jumlah yang sangat menggiurkan.

Jadi, di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, dan PP No 97/2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas ditegaskan, kota-kota yang ingin menerapkan ERP harus memenuhi beberapa syarat dan kondisi. Selain itu, uang yang terkumpul dari ERP hanya boleh digunakan untuk meningkatkan layanan angkutan umum massal dan peningkatan kinerja transportasi.

Namun, penerapan ERP ini juga jangan mempersulit atau membebani masyarakat, misalnya harus menyediakan on board unit (OBU), alat di dalam mobil tempat menyimpan saldo uang, yang bisa dibaca oleh alat ERP di jalan. OBU yang digunakan Bank Mandiri untuk pembayaran e-toll hingga saat ini harganya sekitar Rp 600.000. Tentu harga ini akan memberatkan warga. PT LEN saat ini sedang membuat OBU, tetapi harganya masih cukup mahal, yakni sekitar Rp 300.000.

Pemerintah Taiwan berhasil membuat OBU berupa cip yang sangat murah dan dibagikan gratis kepada warga. Dengan begitu, warga tidak keberatan untuk menjalani kebijakan itu.

ERP tidak akan ditolak warga sepanjang penerapannya benar dan sesuai dengan tujuannya, yakni agar setiap orang bisa bertransportasi dengan cepat, aman, dan nyaman. Warga tentu akan menolak jika ERP hanyalah everyday rob people (sehari-hari merampok rakyat). (M CLARA WRESTI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber KOMPAS
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com