Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Mana Uang Kotor Udar Pristono?"

Kompas.com - 07/10/2014, 20:27 WIB
Jessi Carina

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com- Pengacara tersangka kasus tindak pindana pencucian uang Udar Pristono, yaitu Eggi Sudjana menanyakan kejelasan uang kotor milik Udar. Menurut dia, jaksa tidak pernah menjelaskan yang mana uang kotor milik Udar.

"Aneh jadinya kalau pakai tuduhan TPPU, kan berarti ada uangnya dulu. Lalu digunakan makanya disebut pencucian uang. Pertanyaannya, mana uang kotor Udar Pristono?" ujar Eggi Sudjana, Selasa (7/10/2014).

Eggi Sudjana mengatakan, Udar yang mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta itu tidak pernah menerima uang sepeserpun dari proyek pengadaan transjakarta. Berkaitan dengan aset Udar yang disita, Eggi meyakini harta tersebut merupakan hasil kerjanya sendiri. Eggi menganggap Udar memang sudah kaya sejak dulu. "Udar sudah punya itu jauh sebelum dia jadi kepala dinas," ujar Eggi.

Eggi mengungkapkan, jika jaksa memiliki bukti pencucian uang yang dilakukan Udar, maka seharusnya jaksa menunjukannya dalam persidangan. Hal ini telah disampaikan Eggi kepada jaksa lewat surat-suratnya.

Namun, jaksa tidak pernah merespons surat itu. Padahal, Eggi menilai bahwa dia sebagai pengacara dan jaksa satu level. Sehingga seharusnya, jaksa tidak mengacuhkan suratnya seperti itu.

Di mata Eggi, tindakan jaksa yang menyita aset Udar itu salah. Karena aset yang disita dia nilai bukan hasil dari uang kotor. "Ini namanya jaksa telah melakukan pencurian terhadap rakyat," ujar Eggi.

Untuk diketahui, Udar Pristono menjadi tersangka dugaan korupsi proyek pengadaan bus transjakarta dan bus kota terintegrasi bus transjakarta (BKTB) berkarat pada anggaran Dinas Perhubungan DKI tahun 2013 senilai Rp 1,5 triliun.

Selain Udar Pristono, Kejagung juga menahan tersangka lainnya, yaitu Direktur Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Prawoto.

Pristono dan Prawoto resmi ditahan oleh Kejaksaan Agung pada Rabu (17/9/2014) malam. Udar meminta Jokowi ikut bertanggung jawab. Sebab, selama menjadi kepala dinas, dia mengaku bekerja dengan baik untuk perbaikan transportasi di Jakarta.

Dalam kasus ini sudah ditetapkan tujuh orang tersangka. Selain Pristono dan Prawoto, lima tersangka lain yaitu Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pengadaan Armada Bus Transjakarta, DA; Ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Bidang Pekerjaan Konstruksi 1 Dinas Perhubungan DKI Jakarta, ST; BS selaku Dirut PT New Armada (PT Mobilindo Armada Cemerlang); AS selaku Dirut PT Ifani Dewi; dan CCK selaku Dirut PT Korindo Motors.

Penyidik juga telah memeriksa 60 orang saksi dan juga ahli. Sebanyak 125 bus transjakarta juga telah dilakukan tes fisik. Hasilnya, memang ada ketidaksesuaian spesifikasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Belajar dari Pemilu 2024, KPU DKI Mitigasi TPS Kebanjiran Saat Pilkada

Belajar dari Pemilu 2024, KPU DKI Mitigasi TPS Kebanjiran Saat Pilkada

Megapolitan
Kisah Bakar dan Sampan Kesayangannya, Menjalani Masa Tua di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa

Kisah Bakar dan Sampan Kesayangannya, Menjalani Masa Tua di Perairan Pelabuhan Sunda Kelapa

Megapolitan
Bandara Soekarno-Hatta Jadi Bandara Tersibuk se-Asia Tenggara Selama Periode Mudik Lebaran

Bandara Soekarno-Hatta Jadi Bandara Tersibuk se-Asia Tenggara Selama Periode Mudik Lebaran

Megapolitan
KPU DKI Susun Jadwal Pencoblosan Pilkada 2024 jika Terjadi Dua Putaran

KPU DKI Susun Jadwal Pencoblosan Pilkada 2024 jika Terjadi Dua Putaran

Megapolitan
Mengapa Warung Madura di Jabodetabek Buka 24 Jam?

Mengapa Warung Madura di Jabodetabek Buka 24 Jam?

Megapolitan
Misteri Motif Selebgram Meli Joker Pilih Akhiri Hidup dengan 'Live' Instagram, Benjolan di Kepala Sempat Disorot

Misteri Motif Selebgram Meli Joker Pilih Akhiri Hidup dengan "Live" Instagram, Benjolan di Kepala Sempat Disorot

Megapolitan
Dishub DKI Kaji Usulan Kenaikan Tarif Rp 3.500 Bus Transjakarta yang Tak Berubah sejak 2007

Dishub DKI Kaji Usulan Kenaikan Tarif Rp 3.500 Bus Transjakarta yang Tak Berubah sejak 2007

Megapolitan
Tarif Sementara Bus Transjakarta ke Bandara Soekarno-Hatta Rp 3.500, Berlaku Akhir April 2024

Tarif Sementara Bus Transjakarta ke Bandara Soekarno-Hatta Rp 3.500, Berlaku Akhir April 2024

Megapolitan
Banjir di 18 RT di Jaktim, Petugas Berjibaku Sedot Air

Banjir di 18 RT di Jaktim, Petugas Berjibaku Sedot Air

Megapolitan
Kronologi Penangkapan Pembunuh Tukang Nasi Goreng yang Sembunyi di Kepulauan Seribu, Ada Upaya Mau Kabur Lagi

Kronologi Penangkapan Pembunuh Tukang Nasi Goreng yang Sembunyi di Kepulauan Seribu, Ada Upaya Mau Kabur Lagi

Megapolitan
Kamis Pagi, 18 RT di Jaktim Terendam Banjir, Paling Tinggi di Kampung Melayu

Kamis Pagi, 18 RT di Jaktim Terendam Banjir, Paling Tinggi di Kampung Melayu

Megapolitan
Ujung Arogansi Pengendara Fortuner Berpelat Palsu TNI yang Mengaku Adik Jenderal, Kini Jadi Tersangka

Ujung Arogansi Pengendara Fortuner Berpelat Palsu TNI yang Mengaku Adik Jenderal, Kini Jadi Tersangka

Megapolitan
Paniknya Remaja di Bekasi Diteriaki Warga Usai Serempet Mobil, Berujung Kabur dan Seruduk Belasan Kendaraan

Paniknya Remaja di Bekasi Diteriaki Warga Usai Serempet Mobil, Berujung Kabur dan Seruduk Belasan Kendaraan

Megapolitan
Akibat Hujan Angin, Atap ICU RS Bunda Margonda Depok Ambruk

Akibat Hujan Angin, Atap ICU RS Bunda Margonda Depok Ambruk

Megapolitan
Arogansi Pengendara Fortuner yang Mengaku Anggota TNI, Berujung Terungkapnya Sederet Pelanggaran Hukum

Arogansi Pengendara Fortuner yang Mengaku Anggota TNI, Berujung Terungkapnya Sederet Pelanggaran Hukum

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com