Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/11/2014, 08:13 WIB
Alsadad Rudi

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Desember mendatang, pengendara sepeda motor tidak dapat melintas lagi di Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat. Hal itu menyusul keputusan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang hendak menerapkan peraturan pelarangan sepeda motor di kedua ruas jalan tersebut, tepatnya dari kawasan Bundaran HI hingga perempatan Harmoni, ataupun arah sebaliknya.

Peraturan ini diklaim dibuat dalam rangka mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas dan mengurangi dampak kemacetan lalu lintas. Laporan dari Polda Metro Jaya menyebutkan, tiap tahunnya, 45.000 pengendara motor di Jakarta meninggal karena kecelakaan. Setiap harinya ada dua sampai tiga orang meninggal karena kecelakaan motor dan rata-rata anak di bawah umur.

"Memang kebijakan ini pasti membuat banyak (warga) tidak senang dan kebijakannya tidak populer. Kamu mau marahin saya ya terserah, saya tidak peduli. Saya hanya tidak mau Anda mati saja," kata Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, di Balaikota, pekan lalu.

Meski demikian, seberapa efektifkah peraturan pelarangan sepeda motor dalam mengurangi kecelakaan dan kemacetan lalu lintas apabila nantinya benar-benar jadi diterapkan?

Meski diklaim bertujuan untuk mengurangi kecelakaan dan kemacetan lalu lintas, peraturan pelarangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat dinilai tidak akan efektif mengatasi dua masalah tersebut. Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan bahkan menilai, peraturan pelarangan sepeda motor melintas di Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat merupakan peraturan yang dijalankan secara setengah-setengah.

Menurut Tigor, ada dua hal yang mendasarinya mengatakan hal tersebut. Pertama, meski dilarang melintas di Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat, para pengguna sepeda motor masih diperkenankan melewati jalan-jalan lain yang berada di sekitar Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat. Jalan-jalan tersebut yakni Jalan KH Mas Mansyur dan Abdul Muis, Tanah Abang, serta Jalan Agus Salim, Menteng.

Kedua, Tigor menilai, Pemprov DKI tak memberikan solusi bagi warga pengguna sepeda motor yang kendaraannya dilarang melintas. Adapun penyediaan bus gratis di sepanjang jalur pelarangan sepeda motor dinilai Tigor tidak akan bisa memengaruhi warga agar dengan sadar memarkirkan kendaraan untuk kemudian naik angkutan tersebut.

"Misalnya orang yang bekerja di Sarinah, sehari-hari dia pakai motor. Itu nanggung banget kalau dia sampai di Bundaran HI, terus mesti cari-cari tempat parkir dulu, kemudian baru naik bus tingkat. Pasti memakan waktu lama. Mending dia lewat jalan belakang (Jalan Agus Salim)," ujar Tigor kepada Kompas.com, Minggu (16/11/2014).

Pengaturan ulang trayek angkutan

Tigor menyarankan, sebelum menerapkan peraturan pelarangan sepeda motor, alangkah baiknya Pemprov DKI Jakarta melakukan terlebih dahulu re-reoute atau pengaturan ulang trayek angkutan umum di Jakarta. Tujuannya adalah agar seluruh wilayah di DKI Jakarta terlayani oleh angkutan umum. Dengan demikian, masyarakat akan bisa terlayani sejak berangkat dari rumah hingga sampai ke tempat tujuan.

"Jadi kalaupun ada larangan, warga pengguna sepeda motor bisa berpindah naik angkutan umum, dan mulainya dari rumah, tidak hanya pas sampai Bundaran HI aja," ujar mantan Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) itu.

Tigor menilai, saat ini angkutan umum di Jakarta belum bisa melayani warga dari rumah hingga sampai ke tempat tujuan akibat saling tumpang tindihnya trayek angkutan umum. Menurut dia, masih banyak kawasan yang belum terlayani oleh angkutan umum, tetapi di sisi lain, banyak pula kawasan yang dilintasi terlalu banyak angkutan umum yang akhirnya mengakibatkan kemacetan.

"Banyak trayek-trayek di Jakarta yang di dalamnya metromini, kopaja, dan angkot saling bersinggungan. Akhirnya sikut-sikutan rebutan penumpang. Padahal, kalau diatur tidak akan seperti itu," papar Tigor.

"Misalnya, angkot khusus melayani di jalan-jalan kecil. Nanti begitu sampai di jalan besar dia bisa naik kopaja atau metromini. Terus baru nanti bisa pindah naik transjakarta atau bus tingkat gratis," ia menambahkan.

Tigor yakin, apabila hal itu bisa dilakukan, maka peraturan pelarangan sepeda motor bisa efektif mengurangi kecelakaan dan kemacetan lalu lintas. Ia bahkan menyarankan agar zona pelarangannya diperluas.

"Peraturan itu kan harus menyeluruh. Asal ya itu tadi. Harus ada solusi bagi warga. Harus ada angkutan umum yang bisa melayani mereka dari rumah sampai ke tempat tujuan," pungkas Tigor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Usai Videonya Viral, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Buang Pelat Palsu TNI ke Sungai di Lembang

Usai Videonya Viral, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Buang Pelat Palsu TNI ke Sungai di Lembang

Megapolitan
NIK-nya Dinonaktifkan karena Tak Lagi Berdomisili di Ibu Kota, Warga: Saya Enggak Tahu Ada Informasi Ini

NIK-nya Dinonaktifkan karena Tak Lagi Berdomisili di Ibu Kota, Warga: Saya Enggak Tahu Ada Informasi Ini

Megapolitan
Remaja yang Dianiaya Mantan Sang Pacar di Koja Alami Memar dan Luka-luka

Remaja yang Dianiaya Mantan Sang Pacar di Koja Alami Memar dan Luka-luka

Megapolitan
Toko 'Outdoor' di Pesanggrahan Dibobol Maling, Total Kerugian Rp 10 Juta

Toko "Outdoor" di Pesanggrahan Dibobol Maling, Total Kerugian Rp 10 Juta

Megapolitan
Dua Begal Motor di Bekasi Terancam Pidana 9 Tahun Penjara

Dua Begal Motor di Bekasi Terancam Pidana 9 Tahun Penjara

Megapolitan
Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Pakai Pelat Palsu TNI, Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Terancam 6 Tahun Penjara

Megapolitan
Cerita Warga 'Numpang' KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Cerita Warga "Numpang" KTP DKI, Bandingkan Layanan Kesehatan di Jakarta dan Pinggiran Ibu Kota

Megapolitan
Gerindra Jaring Sosok Calon Wali Kota Bogor, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Jadi Pendaftar Pertama

Gerindra Jaring Sosok Calon Wali Kota Bogor, Sekretaris Pribadi Iriana Jokowi Jadi Pendaftar Pertama

Megapolitan
Heru Budi: Normalisasi Ciliwung Masuk Tahap Pembayaran Pembebasan Lahan

Heru Budi: Normalisasi Ciliwung Masuk Tahap Pembayaran Pembebasan Lahan

Megapolitan
Pengemudi Fortuner Arogan Pakai Pelat Palsu TNI untuk Hindari Ganjil Genap di Tol

Pengemudi Fortuner Arogan Pakai Pelat Palsu TNI untuk Hindari Ganjil Genap di Tol

Megapolitan
Dua Kecamatan di Jaksel Nol Kasus DBD, Dinkes: Berkat PSN dan Pengasapan

Dua Kecamatan di Jaksel Nol Kasus DBD, Dinkes: Berkat PSN dan Pengasapan

Megapolitan
Gerindra Buka Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Tanpa Syarat Khusus

Gerindra Buka Pendaftaran Bakal Calon Wali Kota Bogor Tanpa Syarat Khusus

Megapolitan
Kronologi Remaja Dianiaya Mantan Sang Pacar hingga Luka-luka di Koja

Kronologi Remaja Dianiaya Mantan Sang Pacar hingga Luka-luka di Koja

Megapolitan
Jadi Tukang Ojek Sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Bakar Bisa Bikin Rumah dan Biayai Sekolah Anak hingga Sarjana

Jadi Tukang Ojek Sampan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Bakar Bisa Bikin Rumah dan Biayai Sekolah Anak hingga Sarjana

Megapolitan
Harga Bawang Merah di Pasar Perumnas Klender Naik, Pedagang: Mungkin Belum Masa Panen

Harga Bawang Merah di Pasar Perumnas Klender Naik, Pedagang: Mungkin Belum Masa Panen

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com