Oleh:

JAKARTA, KOMPAS.com - Jarak Pamulang-Stasiun Rawa Buntu, Tangerang Selatan, sekitar 8 kilometer saja. Tidak jauh, cukup menggunakan sepeda, sepeda motor, atau mobil untuk menempuh jarak itu. Kita bisa memarkir kendaraan di stasiun untuk kemudian melanjutkannya dengan KA Commuter Line ke arah Jakarta.

Cukup dengan Rp 2.000-Rp 2.500, kita bisa naik Commuter Line (CL) yang bersih, tepat waktu, dan berpendingin udara. Lalu kita akan diantar ke stasiun terdekat di Ibu Kota. Di CL kita bisa membaca buku atau berselancar ke mana pun dengan gawai atau membaca media cetak yang katanya makin ketinggalan zaman itu. Berbincang dengan sesama penumpang juga menyenangkan.

Setelah itu kita bisa jalan kaki atau melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum ke tempat kerja. Untuk itu hanya dibutuhkan waktu paling lama sekitar 40 menit. Nyaman, berpenyejuk ruangan, aman, dan bebas macet. Cara bertransportasi seperti itu lazim dikenal sebagai cara park and ride.

Jika membawa kendaraan sendiri, jarak yang sama antara Pamulang dan Jakarta pada jam sibuk biasanya harus ditempuh lebih dari 1,5 jam. Terkadang kita harus menghabiskan waktu hingga 2 jam lebih. Kemacetan bisa mengular sepanjang jalan. Ongkos waktu itu belum termasuk biaya bahan bakar dan ongkos tol Rp 16.000 jika kita keluar di Pintu Tol Tanah Kusir.

Namun, cerita indah park and ride menggunakan CL di Jabodetabek seperti itu masih dengan syarat. Syaratnya, jika semua berjalan lancar seperti yang direncanakan. Menurut pengalaman sehari-hari, tidaklah persis seperti itu yang dinikmati warga pelaju di sekitaran Jakarta.

Kendala

Ujian pertama setiba di stasiun adalah sulitnya tempat parkir kendaraan di sekitar stasiun. Lahan parkir di stasiun terbatas. Tidak mengherankan jika parkir kini menjadi bisnis yang menjanjikan bagi warga sekitar stasiun. Tanah-tanah kosong sekitarnya dijadikan tempat parkir. Namun, itu pun jangan harap kita mendapat tempat. Kesiangan sedikit, tak bakal ada tempat parkir dan pada akhirnya terpaksa kita berbalik arah dan membawa kendaraan ke tempat kerja.

Selayaknya CL memang menjadi angkutan yang menyenangkan. Tetapi pada jam-jam sibuk, penumpang terpaksa harus rela menjadi ikan sarden di dalam gerbong. Untuk menggerakkan tangan saja susah. Kegencet abis, bo!

Apalagi banyak penumpang yang membawa tas ransel. Untuk menghindari copet atau tangan jahil, backpack pun menjadi chest pack karena dipakai di dada.

CL terlambat tiba dengan berbagai alasan—gangguan sinyal, arus listrik terganggu, banjir di stasiun tertentu, dan sebagainya—bisa menambah ”penderitaan” penumpang. Keterlambatan satu jadwal KA menyebabkan penumpang menumpuk di CL pada jadwal berikutnya. Jadi siap-siap terlambat tiba di kantor atau kemalaman sampai di rumah.

Kereta massal seperti CL secara umum sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Tetapi, angkutan umum lain di Jakarta, dari angkot, metromini hingga kopaja, sering kali menjadi teror tersendiri pagi penggunanya. Bus bobrok, ugal-ugalan, copet, dan ketidaktepatan jadwal adalah beberapa ketidaknyamanan angkutan umum di Jakarta.

Saatnya pemerintah menyiapkan angkutan umum dan segala fasilitasnya lebih baik. Sehingga cerita kenyamanan park and ride di awal tulisan ini menjadi kenyataan setiap hari.

Jika tidak, kebijakan pembatasan angkutan pribadi, termasuk rencana pelarangan sepeda motor di jalan protokol Jakarta, akan dianggap sekadar ”proyek-proyekan”, tambal sulam saja.