Dengung aksi para debt collector yang mencemaskan itu lantas menjadi tanya apakah keberadaan para penagih utang ini legal secara hukum. Kriminolog Reza Indragiri Amriel mengatakan, keberadaan penagih utang ini sah-sah saja.
Tidak hanya Indonesia, kata dia, negara luar pun ada model jasa penagihan utang tersebut. "Tetapi di negara lain, (penagihan) tidak dengan kekerasan dan teror. Melainkan dengan cara diplomasi, negosiasi, dan sebagainya. Ada semacam kode etiknya. Ini yang tidak terjadi di Indonesia," kata Reza, kepada Kompas.com, saat dihubungi Senin (29/12/2014).
Ia menilai perekrutan jasa debt collector di Indonesia masih melalui perusahaan-perusahan outsourcing atau pihak ke tiga. Sehingga, tenaga penagih yang dipilih kadang tidak memadai. "Cuma modal fisik saja. Kalau penampilannya seram, maka direkrut," ujar Reza.
Selain itu, jarang ada peraturan dan rambu bagi tenaga penagih dari pihak ke tiga untuk melakukan aktivitasnya dengan patut. Padahal, jika jasa penagih yang disediakan tidak baik, kata Reza, akan berbahaya.
"Berarti hanya menyediakan jasa preman, kalau hanya menyediakan jasa preman berbahaya sekali menurut saya," ujar Reza. Hal senada diungkapkan Kriminolog Adrianus Meliala.
Kata dia, akibat penagihan dilakukan dengan cara yang tidak tepat, kerap muncul menjadi tindakan pidana. "Debt collector dan debt collection sebagai aktivitas itu sah-sah saja. Tetapi cara saat melakukan aktivitas itu yang melawan hukum," ujar Adrianus, melalui pesan singkatnya.
Menurut dia, jika debt collector sudah melakukan tindak pidana, mudah sebenarnya bagi aparat untuk menindak pelakunya. "Namun pihak yang menjadi sasaran (korban) sering malas mengadu karena mereka juga sumber masalah. Karena tidak mau bayar tagihan dan lain-lain," ujar Adrianus.
Sedangkan pihak yang memberi perintah atau atasan debt collector menurut Adrianus kerap sulit untuk ditindak. "Mereka pintar karena selalu berupaya berkelit dari tanggung jawab," ujarnya.
Kendati demikian, penegak hukum diharapkan serius untuk menangani masalah debt collector. Tidak hanya pelakunya, namun pihak yang menyuruh jasa penagih itu juga mesti bertanggung jawab. Terlebih jika aktivitasnya sudah membahayakan keselamatan seseorang.
"Menyuruh orang untuk melakukan sesuatu atau tindakan tertentu, apalagi berkaitan dengan keselamatan nyawa orang lain itu bisa jadi tindak pidana," ujar Kriminolog Erlangga Masdiana.
Ia berpandangan, jika ada problem, perusahaan tidak perlu menggunakan jasa debt collector. Namun, bisa melapor ke penegak hukum. "Kalau ada problem bisa minta bantuan pihak kepolisian. Misalnya, orang tidak mau bayar, itukan bisa jadi pidana bukan cuma perdata. Ada perjanjian tapi dia tidak tepat janji, tidak mau bayar," ujar Kriminolog dari Universitas Indonesia itu.
Ia menyangkan kejadian yang terjadi menimpa salah seorang korban penagih utang di Jakarta Barat, Trisha Tan (34). "Itu kan sebenarnya adalah tindakan melawan hukum. Apalagi menangkap dan menyandera," ujar Erlangga. [Baca: Polisi: Sudah Ketemu, Perempuan di Grand Livina Dibawa "Debt Collector"]
Erlangga memiliki pandangan, para penagih utang seperti debt collector sebaiknya ditiadakan saja.
"Saran saya memang debt collector nantinya tidak boleh ada. Yang pertama bagaimana cara meniadakannya. Maka kalau ada persoalan (utang), jadi bagian perusaahan, jangan (melalui) outsourcing. Perusahaan yang punya piutang itu menagih langsung," ujarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.