Meski mendapatkan angka berhenti-jalan terbanyak, Jakarta sebenarnya tak menempati posisi terburuk dalam hal lamanya pengemudi berhenti di jalan (idling time).
Dari sisi idling time, Jakarta mendapatkan angka 27,22 persen. Artinya, dalam setiap perjalanan, seorang pengemudi rata-rata menghabiskan 27,22 persen waktunya untuk berhenti.
Jakarta masih lebih baik dibandingkan dengan Moskwa (31,57 persen), Bangkok (36,07 persen), London (28,58 persen), dan New York (28,62).
Penyusunan indeks itu memang terkait erat dengan upaya Castrol memasarkan produk minyak pelumas terbarunya. Namun, paling tidak, indeks itu menggambarkan betapa buruknya lalu lintas di dua kota terbesar Indonesia dibandingkan kota-kota utama lain di dunia.
Risyapudin mengakui bahwa kondisi lalu lintas di Jakarta dan sekitarnya memang tak ideal lagi. Menurut dia, pertumbuhan kendaraan baru per tahun di Jakarta yang mencapai 11 persen tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan yang hanya 0,001 persen. Karena itu, Risyapudin tak terlalu terkejut kalau Jakarta saat ini termasuk kota dengan kondisi lalu lintas sangat buruk.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui kondisi tersebut. Menurut dia, selama Jakarta tak memiliki sistem transportasi massal berbasis rel, kemacetan akan terus mendera kota ini.
”Memang iya (paling macet sedunia). Jepang saja yang punya (sistem transportasi berbasis rel) masih macet, apalagi Jakarta. Makanya sekarang sedang kami bangun,” kata Basuki, Rabu, di Balai Kota Jakarta.
Pengamat perkotaan Yayat Supriatna mengatakan, hasil survei The Economist dan Castrol menjadi momentum untuk perubahan Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia yang memiliki permasalahan serupa agar bangkit menjadi lebih baik.
Jaringan transportasi bus cepat (BRT) di Jakarta yang biasa disebut transjakarta dan angkutan transportasi massal cepat (MRT), baik layang maupun bawah tanah yang dalam proses pembangunan, bisa menjadi pilar terbangunnya kembali penataan transportasi publik.
”Asalkan penataan itu memenuhi tiga syarat, yaitu, pertama, benahi dulu prasarananya, seperti jalan, trotoar, halte, parkir, serta kapasitas angkutnya. Kedua, benahi sarana bus dan kelembagaan pengelolaannya. Ketiga, jangan langsung menerapkan traffic demand management secara kaku selama sarana dan prasarana belum memadai,” ungkap Yayat.
(RTS/FRO/RAY/NEL)