Sudah hampir tiga bulan terakhir ini, ia kembali menggunakan mobil pribadinya untuk berangkat kerja. Padahal sebelumnya, ia selalu rutin menggunakan KRL commuter line. Sudah hampir dua tahun ia menjadi pengguna setia layanan transportasi massal tersebut.
Keputusan Tama untuk beralih dari transportasi massal ke kendaraan pribadi dilatarbelakangi perpindahan lokasi kantornya, dari sebelumnya di Jalan Gatot Subroto ke Jalan TB Simatupang, Jakarta Pusat.
Saat kantornya masih di Jalan Gatot Subroto, warga Depok ini kerap menggunakan KRL dari Stasiun Depok Baru menuju Stasiun Cawang, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan transjakarta.
Menurut Tama, pola perjalanan seperti itulah yang tidak ia temui di lokasi kantornya yang baru, Jalan TB Simatupang. Oleh karena itu ia memutuskan beralih menggunakan mobil pribadinya untuk beraktivitas sehari-hari.
"Kalau gue naik KRL dari Depok, turunnya di mana? (Stasiun) Tanjung Barat. Terus dari situ ke kantor mau lanjut naik apa? Angkot? Ogah!" ujar dia.
Seperti halnya Tama, Rudi (26) juga mengungkapkan hal yang sama. Karyawan swasta yang lebih sering melakukan aktivitas kerja di luar kantornya ini mengatakan, bila sedang bertugas di kawasan TB Simatupang, ia memang terpaksa harus menggunakan sepeda motornya. Hal itu tidak akan berlalu bila ia melakukan aktivitas serupa di kawasan pusat kota.
Rudi kemudian menyontohkan lokasi Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Bila sedang melakukan aktivitas kerja di kawasan tersebut, dapat dipastikan Rudi akan menggunakan layanan KRL commuter line.
Seperti halnya Tama, Rudi juga tinggal di Depok. Bila sedang melakukan aktivitas kerja di Kebon Sirih, Rudi akan memilih naik KRL Commuter Line dari Stasiun Depok Lama ke Stasiun Gondangdia.
"Kalau ke TB Simatupang kan enggak bisa. Jangankan KRL, transjakarta aja enggak ada lewat situ," ujar dia.
Tama dan Rudi hanya sedikit dari warga yang kemungkinan besar mengalami hal yang sama. Ketiadaan layanan transportasi massal yang laik di Jalan TB Simatupang mengharuskan mereka beralih kembali menggunakan kendaraan pribadinya. Kemacetan pun menjadi sesuatu yang rutin di kawasan itu.
Pertumbuhan gedung
Dalam beberapa tahun terakhir, Jalan TB Simatupang memang terus tumbuh menjadi pusat perkantoran baru di ibu kota. Hal itu berdampak terhadap semakin banyaknya masyarakat yang beraktivitas di kawasan tersebut.
Namun sayangnya, sampai saat ini belum ada satupun layanan transportasi yang laik di jalan yang berlokasi di wilayah selatan Jakarta itu.
Pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan, tidak tersedianya layanan transportasi umum yang laik di Jalan TB Simatupang disebabkan karena kawasan itu tidak termasuk dalam perencanaan pemerintah terkait pembangunan transportasi massal, yang diatur dalam program pengembangan pola transportasi makro.
Program tersebut hanya menyinggung soal penyelesaian 15 koridor transjakarta, dan pembangunan mass rapid transit (MRT) untuk rute selatan-utara dan timur-barat. Dan dari semuanya itu, tak ada satupun yang akan dilakukan di Jalan Simatupang.
"Ini akibat rencana yang diinginkan pemerintah daerah tidak sinkron dengan lahan yang dimiliki pengembang. Karena pada saat penyusunan rencana (pengusaha) tidak dilibatkan, jadinya tidak nyambung," kata Nirwono kepada Kompas.com, Minggu (15/3/2015).
Revisi program
Menurut Nirwono, tidak masuknya kawasan Jalan Simatupang ke dalam perencanaan pemerintah terkait pembangunan transportasi massal, disebabkan kawasan itu pada awalnya bukan diperuntukan untuk kawasan perkantoran.
"Harusnya Jalan TB Simatupang cuma jadi kawasan hunian tempat tinggal, dan sebagian untuk daerah resapan air. Bukan untuk perkantoran skala besar," ujar Nirwono.
Namun, kata dia, pelanggaran tata ruang berupa pemberian izin kepada pengembang membuat semua yang telah direncanakan menjadi kacau balau. Akibatnya, kawasan Jalan TB Simatupang mengalami perubahan fungsi.
"Pemerintah tidak berdaya dalam pengendalian tata ruang. Contohnya di Jalan TB Simatupang. Izin tidak diberikan sesuai rencana tata ruang yang telah dibuat," ucap dia.
Karena saat ini Jalan TB Simatupang telah telanjur berubah menjadi kawasan perkantoran, Nirwono menyarankan agar pemerintah segera melakukan perubahan program pengembangan pola pengembangan transportasi makro. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pelebaran jalan dan pembangunan sarana transportasi massal.
Khusus untuk poin yang kedua, Nirwono menilai langkah ini perlu dilakukan dengan segera untuk mengakomodir para pekerja yang saat ini jumlahnya terus meningkat di kawasan Jalan TB Simatupang.
"Lakukan revisi program transportasi massal. Sudah saatnya pengembangan transportasi kereta juga dilakukan di kawasan Jalan Tol Lingkar Luar, yang merupakan kawasan Jalan TB Simatupang. Bisa dilakukan dengan membangun jalur kereta layang di atas jalan tol," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.