"Jadi perempuan yang dulu sering ditempelengi suaminya, misalnya, dulu tidak melapor. Sekarang melapor," ungkap Rinto saat ditemui di acara LBH APIK, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (14/4/2015).
Ia menyampaikan hal lain yang bisa ditafsirkan, yakni lemahnya penegakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal itu membuat KDRT semakin tumbuh.
"Ini sudah 10 tahun undang-undang ini ada. Harusnya undang-undang ini lahir untuk melindungi istri, menjaga keharmonisan keluarga, tapi kok malah KDRT makin tinggi," kata Rinto.
Selain itu, penyebab lain adalah kurangnya sosialisasi terhadap undang-undang tersebut. Masyarakat Indonesia, khususnya warga Jakarta, tidak memahami betul soal UU KDRT.
"Dulu kalau enggak nafkahi istri, sebelum UU ini ada, enggak apa-apa, bukan kriminal. Paksa istri hubungan badan juga enggak apa-apa. Kalau sekarang enggak, beda," ungkap Rinto.
Untuk itu, Rinto berharap harus ada tanggung jawab dari lembaga keagamaan untuk menyosialisasikan UU tersebut. Salah satunya dengan memperkenalkan UU ini kepada pasangan yang mau menikah.
"Bukan semata-mata tidak terjadi perceraian saat menikah, tapi juga untuk bagaimana antarpasangan ini tidak jadi perilaku kriminal," kata Rinto.