DEPOK, KOMPAS — Tiga pemuda yang merampok dan membunuh jurnalis lepas, Noer Baety Rofiq (44), di Perumahan Bojong Depok Baru (Gaperi), Bojonggede, Bogor, mengindikasikan pelaku kejahatan tidak mengenal belas kasihan. Motif ekonomi dan kepanikan diduga memicu tindakan sadis itu. Sebuah pola kejahatan yang sering terulang.
Kasus itu melibatkan pemuda Bojonggede, yakni S (20), AU (22), DS (25), dan P (20). Yang beraksi ialah S, AU, dan DS, Sabtu (4/7), sedangkan P tidak ikut tetapi ikut mengatur perampokan. Mereka ditahan di Kepolisian Resor Kota Depok.
Hasil pemeriksaan sementara terhadap para tersangka oleh polisi hingga Selasa (21/7), tersangka mengaku tidak merencanakan perampokan atau sekadar ingin mencuri harta benda korban. Namun, saat hari aksi, dugaan mereka meleset. Korban ternyata ada di rumah, memergoki aksi, bahkan melawan.
Perlawanan itu, menurut AU, mendorong mereka mengambil jalan pintas menghabisi korban dengan cara keji. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya luka tusuk dan beberapa patah tulang pada jenazah Baety.
"Kami panik," kata AU dalam jumpa pers seusai penangkapan, Senin (20/7). Kepanikan membuat mereka hilang belas kasihan terhadap Baety. Mereka juga asal mengambil harta benda. Perhiasan pada tubuh korban luput dari perhatian. Mereka memilih mengambil telepon seluler, komputer, dan kamera dari kamar.
"Enggak ngelihat kalau korban pakai perhiasan," kata S. Pengakuan itu agak cocok dengan petunjuk di lokasi kejadian, antara lain jejak kaki dari darah korban yang mengarah ke kamar Baety, jurnalis yang pernah bekerja di KBR 68H, Berita Yudha, Berita Kota, Cakram, dan Akarpadinews.
Menurut Kepala Polresta Depok Komisaris Besar Dwiyono, tindakan tersangka keji. Tindakan itu memenuhi unsur KUHP Pasal 365 tentang Perampokan dan Pasal 338 tentang Pembunuhan dengan ancaman minimal 15 tahun penjara.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Depok Komisaris Teguh Nugroho mengatakan, penyidik mempertimbangkan menjerat tersangka dengan Pasal 340 atau pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Spontan
Menanggapi kasus ini, kriminolog UI, Prof Mustopa, mengatakan, para tersangka muda ini kehilangan sistem moral umum karena pendidikan basis yang rusak. "Masalah utama kerusakan sistem moral ini adalah pendidikan basis yang rusak, bukan karena dipicu kemiskinan," ujarnya. Kerusakan itu menguatkan kecenderungan orang mengambil jalan pintas dengan kekerasan.
"Dorongan melakukan kekerasan itu bukan cuma berasal dari kehidupan sehari-hari, tetapi juga dari video games, film, dan televisi," ujar Mustopa.
Dorongan itu tak lagi terhambat oleh sistem moral yang kuat. "Lama-lama perilaku seperti ini menjadi instingtif," ujarnya.
Mustopa juga melihat adanya faktor mikro berupa kepanikan pelaku sehingga pelaku bertindak membabi buta. "Yang bertindak seperti ini biasanya pemain baru atau pemain muda," ujarnya.
Psikolog Mabes Polri, Komisaris Besar Nur Cahyo, menambahkan, reaksi instingtif-spontan muncul sebagai perlindungan terhadap ego dan naluri untuk menguasai karena tidak siap kalah atau malu.
Menguatnya reaksi ini dimungkinkan karena pola asuh keluarga yang gagal. "Gagal mendidik atau mentransfer nilai moral sehingga menjadi memiliki nilai sendiri," ujarnya.